Mana yang bakal kalian pilih ?
Dicintai oleh banyak orang atau dicintai oleh satu orang
saja..namun sangat dalam ?
Hazel Grace Lancester memilih yang kedua, dicintai sekaligus
mencintai satu orang saja dalam hidupnya dengan sangat mendalam.
Dengan kanker yang melekat di tubuhnya sejak berusia 13
tahun, Hazel sadar dirinya ibarat bom yang bisa meledak kapan saja dan melukai
orang-orang yang ada di sekitarnya. Bisa bertahan hidup saja sudah jadi hak
istimewa baginya, jatuh cinta tidak pernah terlintas dalam pikirannya.
Tapi takdir bicara lain, ia bertemu dengan Augustus Waters, si
pemuda berkaki satu yang tertarik pada Hazel sejak pandangan pertama. Mereka bertemu di support
group para penderita kanker, Augustus hadir untuk menemani sahabatnya ,Isaac
, yang menderita kanker pada kedua bola matanya.
Sepanjang pertemuan, Augustus tak henti memandang Hazel.
Meski selang oksigen selalu menempel di wajah Hazel, baginya itu tidak
mengurangi kecantikan Hazel Grace.
“I enjoy looking at beautiful people, and I decided a while
ago that I won’t deny myself a simpler pleasures of existence,” kata Augustus….
(yang pasti bikin si Hazel melayang, bohong kalo enggak mah).
Bertemu Augustus adalah pengalaman serba baru bagi Hazel ;
baru mengenal kawan lawan jenis, baru memiliki teman berbagi cerita soal buku
favorit, baru tahu rasanya menunggu telepon dan sms dari seseorang, dan baru
merasakan indahnya dunia saat menyukai seseorang. Hal-hal sepele, namun sangat
berarti di persediaan waktunya yang terbatas.
Ada satu buku yang sangat digilai oleh Hazel, yaitu Imperial
Affliction karya Peter Van Houten. Menurutnya, buku ini sangat menggambarkan
secara riil penderitaan yang dialami oleh pasien kanker. Depresi misalnya,
bukanlah efek samping dari kanker.
“Depresi itu efek samping dari sekarat, dan
Peter tahu itu,” kata Hazel.
Augustus pun tertarik untuk membacanya, dan sepakat dengan Hazel. Sayang, isi novelnya
menggantung. Sehingga mereka penasaran dan mengejar si pengarang hingga ke
negeri Belanda, semua biaya ditanggung
oleh Augustus. (Well, setiap gadis bakal jatuh hati ama cowok yang mao ongkosin
jalan-jalan ke Eropaa yesss).
Romansa pun dimulai, adegan-adegan mesra membanjiri layar
lebar. Tapi sayang, hidup gak selamanya buat sayang-sayangan ama pacar.
Tanpa disangka, kanker di tubuh Augustus kembali menyerang.
Sepulang dari Belanda keadaan berbalik, Augustus menjadi jauh lebih payah
secara fisik dan mental ketimbang Hazel. Mereka resmi jatuh cinta dan
berlomba-lomba menuju kematian.
Sama-sama kepayahan, mereka berjuang untuk menikmati sisa
waktu yang ada. Bagi Hazel tidak ada waktu yang singkat untuk mencintai
Augustus. Augustus memberinya cinta sejati yang secara harfiah akan ia bawa
mati nantinya. Secara matematis..some infinites are bigger than other
infinities.
Welll…… gue sih nangis pas baca bukunya. Pas nonton mau
nangis juga tapi lihat kawan di sebelah udah sesenggukan, gue harus kuat!!!
Bahaya kalo keluar bioskop sama-sama nangis.. (gengsi aja sih).
Filmnya cukup bisa mewakili isi buku, para pemerannya juga
pas. Okay! Meski ada beberapa adegan yang gak ada di buku (baik dikurangi
maupun ditambah-tambah), tapi itu biasalah.
Gue menyarankan kalo kalian lagi labil-labilnya atau baru
putus, jangan nonton ini. Daripada ujungnya minta balikan…rempong.
Mungkin kesannya ini film dan buku terlalu menye-menye kali
ya, apalagi genrenya Young Adult. Tapi, gue tetap kagum sama pengarangnya, John
Green. Soalnya, meski ceritanya sedih dia bisa membawakannya dengan gaya komedi
satir. Jadi gimanaaa gitu ya rasanya, tidak secengeng novel-novel romance
lainnya tapi cukup membuat kita bersyukur atas nikmat sehat yang ada (yaela!).
Ada lagi yang bikin gue kagum, yaitu obat fiksi phalanxifor
yang ada di dalam buku untuk mencegah pertumbuhan kanker Hazel Grace hingga dia
bisa bertahan hidup. Well, menurut gue mengarang dan menciptakan nama dan jenis
obat itu gak mudah…hahaha karena harus meriset ilmu-ilmu sebrang itu dulu.
Well, mumpung film-nya masih beredar di bioskop….silahkan dinikmati.
XOXO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar