Sepanjang jalan si
bapak mengoceh. Sebagian isinya istilah teknis yang tidak saya kenal. Kadang
saya mengangguk dan mengiyakan, sebagai tanda saya masih mendengarkan. Atau
sekedar tanda sopan santun saja. Tidak ada orang bicara tapi tidak ingin
didengar. Apalagi oleh orang yang sedang numpang di dalam mobilnya. Seperti
saya.
Bapak itu bicara lagi,
kali ini benar-benar soal masalah yang tidak saya ketahui. Belum saya kuasai
tepatnya. Tapi saya tetap menunjukkan mimik serius, peduli setan meski saya tak
mengerti omongannya. Yang penting semua sudah direkam, masalah paham urusan
belakangan.
Saya bertanya
macam-macam, menggali informasi sebanyak mungkin. Kadang jawabannya melebar,
sampai perlu saya ulang pertanyaan. Kalau sudah kepepet dan sedang tega,
biasanya saya potong di tengah-tengah. Tapi tidak untuk hari ini, saya lagi
baik hati.
Di mercy hitam itu, si
bapak tidak hanya menjawab pertanyaan. Dia juga bercerita. Tentang film,
tentang masalah negara ini, tentang banyak hal yang harus dibenahi, tentang
suramnya sektor yang ia geluti.
“Blood Diamond. Kamu
sudah pernah nonton filmnya ?” Tanya si bapak.
Saya jawab, belum.
Dia bilang itu film
bagus, kurang lebih kondisi negara kita seperti di film itu.
Turun dari mercy hitam
kami singgah ke sebuah hotel esklusif di Dharmawangsa. Hotel para pemangku
kepentingan negara ini, khususon sektor energi dan pertambangan, saling
bercengkrama.
Harusnya dia bertemu
dengan orang penting lagi..atau lebih penting. Tapi ceritanya pada kami belum
tuntas, penasaran kami belum usai.
Akhirnya kami duduk di
sebuah ruangan, melanjutkan diskusi kami. Kali ini, prediksi masa depan. Sampai
kira-kira setengah jam kemudian, kami mengakhiri pertemuan dan kembali ke
kenyataan.
Blood Diamond, itu yang
terngiang di kepala saya. Saya akan acuhkan film itu kalau yang
merekomendasikan adalah seorang kawan. Tapi kalau pejabat negara yang
sehari-hari mengurus nasib kita bilang harus tonton, maka saya harus cari.
Berselancar di dunia
maya mengumpulkan informasi soal film yang penuh bintang itu. Kesimpulan saya
satu, film yang mengerikan. Soal perang, tambang, dan darah. Sudah segelap itukah
negara ini ? Saya tahu negara ini bobrok, tapi kalau pejabat saja sudah putus
asa, bagaimana ?
Dari Dharmawangsa dan
mercy hitam yang saya tumpangi, semua kemewahan itu, saya tarik.
Saya membawa ingatan
saya ke rel kereta kumuh dan tanggul yang ada di dekatnya. Dari kemewahan hotel
bintang lima, saya membawa diri saya ke kampung-kampung.
Lalu saya ingat belasan
anak jalanan yang ternyata….masih punya impian.
Saya ingat tawa mereka
saat saya lontarkan beberapa cerita soal apa saja.
Saya ingat gulai
kambing hasil qurban yang mereka masak sendiri selama berjam-jam untuk dimakan
bersama.
Saya senyum
membayangkan tingkah mereka saat mengingatkan saya untuk solat jamaah.
Di rel, di tanggul yang
kumuh, surga bisa tercipta.
Di hotel, di mobil yang
mewah, mereka mengurai dan terbelit masalah.
Dunia yang mewah itu
gelap. Di dalam mercy ada setumpuk berkas masalah. Di dalam hotel ada sejumlah
lobi yang harus dijalin. Isinya hanya beban. Terlalu pekat.
Sering berada dekat
mereka membuat kita ikut terseret, ke dunia yang begitu.
Sesekali, mainlah ke
pojok-pojok Jakarta paling kumuh. Mainlah ke sekolah-sekolah sederhana. Supaya
kita masih bisa melihat dan tahu apa yang namanya harapan.
Supaya kita tidak
menjadi kelabu.
Jakarta 10 Oktober
2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar