Seporsi salmon panggang
dan kentang tumbuk yang hambar sebenarnya cukup untuk mengisi perut ini. Tapi,
irisan pizza yang kadung disodorkan oleh si Bapak, tak mungkin saya tolak.
Bapak itu asyik
bercerita, sementara saya sibuk memotong irisan pizza dan menyeruput jus yang
katanya alami.
Ceritanya panjang
lebar, sepanjang karirnya dan selebar pengetahuannya. Sambil makan, saya terus
mendengarkan. Ia tahu banyak soal
seluk beluk dunia yang konon banyak mafianya. Tapi ia juga banyak tidak tahu,
karena si mafia-mafia itu bekerja begitu rapi dan tertutup. Sehingga hasilnya
seperti kentut, ada bau tapi tak ada wujud.
Karir yang begitu lama,
pastilah ingin suatu saat ada di posisi puncak. Posisi yang prestisius, yang
bisa membuat namanya muncul di koran. Dikutip sebagai pejabat publik, punya
peranan penting dalam membuat kebijakan.
Si Bapak sebenarnya
sadar, keinginannya itu bukan tak ada harga. Jabatan di negeri ini laksana
jodoh yang hendak dipinang. Ada mahar yang harus diberi, sebelum bisa
dinikmati.
“Saya tahu saya tidak
akan lolos, tapi saya coba saja. Penasaran,” kata dia.
Senyum saya pun
mengembang. Penasaran yang saya tahu enak untuk dilanjutkan hanya ‘Penasaran’
milik Bang Haji Rhoma. Penasaran yang lain kalau dilanjutkan, buntutnya pasti
tidak enak. Apalagi penasaran di wilayah begitu.
Benar saja, buntutnya
bukan cuma tidak enak. Menurut si Bapak, buntutnya itu sudah gak enak, harganya
mahal pula. Tak masuk akal.
Kebetulan jabatan yang
dia incar perlu yang namanya restu dari gerombolan senayan. Ia bersaing dengan
beberapa kandidat, menyiapkan bahan presentasai , menjawab pertanyaan, hingga
sedia mahar. Semua ia lakoni supaya bisa lolos seleksi.
Tahap awal dilalui
dengan lancar, namanya masuk ke dalam sekian besar. Saya lupa. Kalau tidak ada
halangan, esok hari akan diumumkan siapa yang lolos dan layak duduk di kursi
tersebut.
Malam sebelum
pengumuman, ia dipanggil. Menghadap ketua gerombolan, yang katanya pimpinan
geng dari kubu berkuasa. Waktu itu.
“Saya diminta setor dua
puluh lima juta,” sebut si Bapak.
“Dua puluh lima juta
dolar ?” pikir saya, wah mahal sekali kalau begitu. Padahal itu jabatan yang
menurut saya…tidak ada kerjaannya.
“Bukan, Rp 25 juta,”
jawabnya.
Lah, ini kecil sekali.
Apa saking tidak pentingnya ini badan. Masa iya harganya cuma segitu. Mahal
bingung, terlalu murah juga bingung.
Tampaknya si Bapak tahu
saya kebingungan, soalnya kalau lagi bingung saya nambah porsi makan.
“Rp 25 juta per orang,”
tambahnya.
Alamak! Gerombolan itu
jumlahnya berkodi-kodi. Kalau seorang dapat segitu dari satu calon, gila benar
uang yang ditransaksikan di sana.
Saya pun bertanya lagi.
“Itu untuk semuanya ? Semuanya tanpa kecuali ? ”
Harus saya tanya
begitu. Soalnya suka banyak yang mengaku-ngaku bersih kalau sudah duduk di
sana.
Si Bapak mengangguk.
Yang kaya begini, kata dia, bukan urusan cere-cere semacam staf. Kalau sudah
begini, si tuan-tuan yang maju sendiri.
Dia masih lanjut
cerita, cerita soal tarif yang tak pasti. Sebab rekan yang turut melamar posisi
serupa, kena tarif lebih tinggi. Konon rekannya itu punya peluang tinggi untuk
lolos.
Gerombolan yang dulu
sih sudah pergi, sekarang sudah ganti gerombolan baru. Tapi tampaknya cuma
ganti baju. Dalamnya masih sama.
Lalu saya mencari apa
istilah lain yang bisa digunakan untuk menikmati uang selain dari gaji.
Jawabannya adalah komisi. Mungkin itu sebabnya juga mereka dinamakan komisi,
supaya segala sesuatu yang mereka harus kerjakan atau setujui bisa memberi
mereka masukan tambahan selain dari gaji mereka.
Saya menatap nasi
padang berhias tunjang di hadapan saya. Kembali ke kenyataan.
Semoga salmon panggang
dan segala ceritanya tadi hanya mimpi.
Semoga itu bukan di
negeri ini.