Di zaman SBY jadi presiden, entah kebetulan atau tidak, alhamdulillah ada beberapa pejabat yang wajahnya lumayan enak dilihat dan diperhatikan. Dulu, saya menyebutnya sebagai Ministers over Flowers (biar kaya Boys over Flower gitu). Mereka adalah ; Gita Wirjawan, Marty Natalegawa, dan Julian Aldrin Pasha. Oke, yang terakhir bukan menteri...tapi kan ada di lingkungan istana dan cakep juga, jadi tetep dihitung.
Kadang-kadang, biar genap jadi 4 dan dimirip2in sama F4, saya suka nambahin Ganjar Pranowo yang waktu itu masih di DPR. (Untuk bahasan Pak #GantengPranowo bisa dibaca di sini )
Nah, kalau liputan, apalagi para wartawan perempuan, lumayan lah kalo nara sumber yang ditemuinya ada salah satu dari pejabat F4 itu. Biar kata deadline ketat, isu berat, tetap ada setitik nikmat yang masih bisa kita icip-icip hanya dengan memandang mereka.
Sebagai wartawan ekonomi, yang paling sering saya lihat waktu itu adalah Pak Gita Wirjawan. Saya beberapa kali meliput beliau sejak jadi Kepala BKPM sampai Menteri Perdagangan. Inget banget pertama kali liputan beliau itu untuk liput capaian investasi kuartal iii , tahun berapa gitu. Saya yang waktu itu masih cupu, kerap terpana tiap kali beliau konpers.
#GantengWirjawan pic cr to google |
Saat sesi tanya jawab, tiba tiba seorang wartawan ekonomi yang sangat senior dan fenomenal mengacungkan jarinya dan hendak mengajukan pertanyaan. Semula saya biasa aja, tapi kata pertama yang diucapkan si kakak wartawan untuk bertanya membuat saya khilaf, sampai merobek-robek rilis yang masih jauh dari syarat pressklaar itu.
Si kakak wartawan tiba-tiba menyapa Pak Gita dengan asiknya dengan sapaan, “Mas Gita, nanya dong.” MAS!! MAS!!!
Dekat kali si Kakak dengan bapak tampan ini, pikirku (ngapa tiba-tiba Batak?).
Ujungnya, saya pun mengetik berita sambil terus kepikiran dan diiringi api cemburu. Untung masih diiringi api cemburu, coba kalo sampai diiringi rombongan qasidah, pasti gak kelar tuh berita.
Selang beberapa tahun waktu terus berjalan, saya tetap meliput seperti biasa sambil curi-curi memuji ketampanan si bapak. Akhirnya, si bapak selesai jadi menteri, saya pun selesai menjadi wartawan. Hingga, pada tanggal 11 Januari 2017 sebuah keajaiban terjadi.
Saya yang kini bukan wartawan mendapat tugas untuk dinas ke Bali dengan seorang kawan. Yah, namanya pegawai biasa kami juga pasti naek pesawat biasa-biasa aja dong ya. Yang penting bisa terbang. Tanpa disangka, ketika mau antri masuk pesawat, tertangkaplah oleh mata ini kilasan wajah tampan yang familiar...(tsahh).
Beliau sedang duduk dan menatap hapenya dengan khusyuk, mungkin sedang hapalan doa atau surat pendek. Lalu, dengan sok dramatisnya, saya pun (sok) memberanikan diri untuk menyapa. “Pak Gitahhh?” kata saya , dengan intonasi aktris telenovela.
Cara menyapa Pak #GantengWirjawan |
Pak Gita pun mengangkat kepalanya, reaksi normal kalau disapa. Yang gak normal itu kalo disapa terus angkat tangan, emang sini makhluk jadi-jadian. Kami pun lanjut bertukar sapa dan saling (tepatnya saya sih yang mengingatkan diri siapa saya sebelumnya) memperbarui kabar apa yang sekarang lagi dikerjakan.
Lalu, saya mohon diri untuk masuk pesawat duluan. Sambil masuk pesawat, saya jelas ga bisa nahan nyengir. Saya dan kawan saya dapat kursi di barisan lumayan depan, meskipun tetap di belakang pilot (ya iyalah). Kawan saya paling pojok, saya di tengah, kursi sebelah saya masih kosong.
Jeng-jeng, masuklah si bapak tampan dalam pesawat. Tiba-tiba dia berhenti di baris depan kursi saya. Ah, pikir saya, sayang amat. Coba aja si bapak duduk di sebelah saya, doa saya dalam hati.
E mamake, tau-tau si bapak ternyata beneran duduk di sebelah saya!! AH!!! Cepat kali kau kabulkan doa hambamu, Tuhan!! Sayang kali rupanya kau pada hamba satu ini.
Si bapak pun tersenyum dan menyapa kembali. Saya balas dengan senyum. Lalu sibuk untuk membuka hape lagi, sementara saya sibuk kasih tau kawan-kawan kalo saya duduk sebelahan ama orang ganteng. Karena saya rata-rata berteman sama wartawan, kalau kita mau cerita biasanya mereka minta bukti dulu baru percaya. Bingung juga saya sebenarnya, mereka itu kawan atau polisi, minta bukti muluuu.
Pesawat take off, saya deg-degan. Apa yang harus saya lakukan kalo duduk sebelahan ama bekas menteri yang masih tampan begini. Pastinya ngobrol dong ya, ya masa saya ajak mancing di pesawat.
Untungnya, pengetahuan saya seluas badan saya (ehem).
Sesekali si bapak membuka bukunya yang bertemakan ekonomi, dan mencoret-coret dengan pulpennya. Duh, pikir saya, tadinya saya kepikiran mau nonton drama sambil tunggu pesawat landing, tapi malu lah ya. Sebelah saya buka buku, masa saya nonton drama.
Biar gak kelihatan sebagai perempuan yang kebingungan, saya mencari buku di dalam tas saya, yang Alhamdulillah ada yang kebawa. Buku yang lagi saya bawa adalah karya penulis Jepang bernama Hiromi Kawakami berjudul “Strange Weather in Tokyo”.
Buku yang entah mengapa tiba-tiba jadi menarik saat duduk bareng Pak #GantengWirjawan |
Buku ini sebenarnya udah dua bulan gak tamat-tamat saya baca, karena alurnya yang lambat dan topiknya yang aneh. Tau kenapa ? Karena ceritanya berkisah tentang perempuan umur 30 an yang jatuh hati dengan pria paruh baya.
Kok Ya saat itu tiba-tiba tema buku itu jadi menarik!!! Kok ya kayanya ngepasss atau dipas-pasin gitu. Somehow, saya merasa sangat terikat dengan cerita di buku itu, kayaknya bisa bayangin gitu dan udah dapat visualnya. Somehow.