Ini adalah cerita
tentang seorang gadis yang kelamaan hidup di kota. Mulai dari lahir,
gede, cari nafkah, di PHP-in, semua dia alami di Ibu kota. Seorang
gadis yang lebih siap menghadapi kemacetan berjam-jam ketimbang mati
lampu dua menit.
Gadis ini kalo
diajak pergi ke gunung bakal capek, diajak ke pantai bakal tenggelem.
Meski pake pelampung dan dipegang dua laki-laki badan gede, ngintip
ke bawah laut dikit juga pingsan. Kalo ditanya kenapa? Si Gadis ini
cuma jawab selow, “Gue gak cocok aja ama aer, soalnya elemen utama
gue itu api.” (mohon maklum, gadis ini kebanyakan nonton Avatar Ang
di waktu luang).
Suatu ketika, gadis
ini memutuskan untuk pulang kerja menuju unitnya yang ada di kawasan
Matraman dengan menggunakan transjakarta. Alasannya; lebih murah dan
tidak perlu kuatir kena asap knalpot beracun yang bisa menambah
jerawat di wajahnya. Iya, dia ga peduli ama paru-paru, pedulinya ama
pori-pori. Cetek emang anaknya.
Berhubung memutuskan
pulang dengan transportasi bersubsidi, ramainya antrian pun menjadi
konsekuensi. Setelah bersusah payah naik jembatan busway yang polanya
menanjak dan memutar, si gadis ini kudu antri panjang supaya dapat
diangkut menuju tujuan.
Di antrian, si gadis
tadinya anteng-anteng aja. Sampai tiba-tiba busway yang kebetulan
arahnya langsung menuju lokasi kediamannya yakni Senayan – TU Gas
nongol di pintu halte. Sang kondektur dan petugas pun memberi aba-aba
yang punya tujuan kebetulan searah ama itu bis berwarna biru
dipersilakan untuk keluar antrian.
“Ya..TUGAS,
MATRAMAN, Pulo Gadung, yang mao naek Pak..Bu,” kata Mas Kondektur.
Si gadis pun keluar
barisan sambil berpikir, “Ya Alloh, tumben ada cepet ini bis.
Alhamdulillah bisa pulang cepat. Habis itu bisa nonton drama korea
sambil nunggu bobo,” pikirnya polos.
Pas si gadis keluar
barisan, ternyata di belakangnya ada barisan emak-emak yang tak
disangka ingin menaiki bis serupa. Seperti tak sabar, emak-emak
busway yang semula dipikir oleh si gadis tidak segahar mak-mak
commuter line mulai mendorong-dorong dirinya. “Ya ampun, aku
dianggap pintu indomaret kali ya didorong-dorong begini,” pikir si
gadis lagi.
Berusaha sabar, si
gadis pun larut dalam ombak dorong-dorongan emak-emak yang sulit
diperkirakan jumlahnya. Pas si gadis mencoba lari-lari kecil di
turunan jembatan untuk mengejar busway...di ruas jembatan yang tak
seberapa---di antrian agak depan dekat loket pintu busway, tiba-tiba
ada bapak-bapak yang tanpa bersalah ngeluarin kakinya dari barisan,
seakan ingin stretching di jembatan...tapi offside. Monyed bener.
Si gadis yang ingin
menghindari kaki si lelaki berniat mengelak ke kanan, tapi dia lupa
badannya lebar dan di kanan ada pagar-pagar jembatan dan emak-emak di
belakang masih dorong-dorongan. “Monyeth...nyusruk dah nih gw,”
prediksi si gadis yang sangat tepat beberapa detik kemudian. Nyusruk
lah itu si gadis di jembatan busway dengan kaki kanan kepentok dan
nyangkut di sela-sela pagar.
Pas si gadis jatuh,
pandangan si gadis tetap tertuju ke pintu busway yang hampir tertutup
dan seakan mengiba “Bang...jangan pergi gitu aja, Bang!”. Tapi
apa daya, busway tak bisa lama menunggu, Mas Kondektur pun
meninggalkan si gadis yang sedang terpuruk dengan hanya menatap
nanar.
“Sial aku
ditinggal busway,” umpat si gadis yang menyesalnya kayak ditinggal
pacar. Padahal gak punya juga.
Gak lama, si Bapak
yang kakinya offside itu menghampiri si gadis yang ga sadar masih
duduk terjatuh. “Mbak gak apa-apa, Mbak? Bisa bangun gak?”
Tadinya si gadis mau
sok tegar dan kuat kayak atlet angkat besi, tapi pas mao berdiri
ternyata gak sanggup. Inilah cidera terbesar yang pernah dialami si
gadis urban sepanjang hidupnya, nyusruk di jembatan busway. Gadis
urban lalu menjadi gadis pengkor.
Penampakan kaki gadis urban setelah kesandung. Tubuh sudah bengkak, kini ditambah kaki ikut bengkak |