Novus Giri Puncak, model dadakan; Ira Wardany |
Dulu nih, sewaktu gue masih muda-singset-dan banyak gaya, gue selalu heran sama orang-orang Jakarta yang hobi banget ke Puncak, Bogor, saban akhir pekan.
Laporan radio selalu sebut macet, jalur buka tutup. Bahkan kalau ada outing kantor ke Puncak, ku selalu pura pura ga enak badan. Itu karena, menurut gue di Puncak orang-orang cuma mau dapat cuaca yang beda sama Jakarta, dingin, pemandangan, sama di villa.
Udah gitu aja. Dan memang cuma di Puncak waktu itu cuma ada; villa, villa, villa, wisma kementerian/pemerentah, villa, villa, kebon teh, villa, wisma, gitu doang.
Apa coba yang menarik? Pikir gue saat itu.
Tapi nih, seiring bertambahnya usia-berat badan-dan kekayaan (yang tak seberapa), akhirnya gue paham kenapa orang Jakarta pada berbondong bondong ke Puncak pada akhir pekan.
Memang segala sesuatu yang kita tidak pahami, tidak serta merta bisa dijawab. Kadang butuh waktu lama sampai kita mendapat jawabnya sendiri.
(TSAH! Gilak filosofis abis Mbak Goes!)
Nah, seiring bertambah-tambahnya hal yang disebut tadi, dalam hidup kaum urban selalu ada yang berkurang, yakni waktu.
Kadang, kita tertelan dengan segala kesibukan pekerjaan dan ingin melarikan diri dengan liburan (yang panjang), tapi waktu untuk liburnya susah ditemukan. Sehingga cuma bisa liburan singkat barang 2-3 hari.
Untuk liburan singkat itu, gak mungkin juga ke luar pulau atau luar negeri karena Senin kita kembali bekerja, dan harga serta tekanan darah juga naik!
Kita butuh liburan singkat untuk refreshing aja, dan Bogor-Bandung akhirnya jadi pilihan warga Jakarta. Now I Know.
Kedua, keinginan untuk melarikan diri dari Jakarta meski sebentar itu gak bisa dihindari, terutama buat yang tiap hari lihat kemacetan, padatnya orang dan gedung-gedung. Ugh!
Kami butuh mencari ketenangan lahir dan batin, untuk seimbangkan yin dan yang.
Kami ingin Zen seperti tante Sophia Latjuba! |
Apalagi sebagai jurnalis di tahun politik ya, udah lah. Nulis bener tetep disalahin kedua kubu, berita kaga ada yang positif, gemes sama pemerentah, kesel juga sama oposisi. Belum kalo baca komen netizen, ya Alloh rasanya ingin jadi jimbot (gimbot) jaman dulu yang bisa ngomong.
Lalu ku ingin ngomong “Begok lu, begok lu, begok lu” ke semua orang yang hobi mencet asal-asalan sebelum posting komen.
Di tengahhhh segala keruwetan dan stress hidup itu, pengennya sih yah ke Bali yang aman-damai-jauh, tapi kesibukan kadang tak mengizinkan.
Sampe akhirnya, gue coba cari aja itu di Instagram dan aplikasi travel, serta google soal tempat-tempat staycation di Bogor yang direkomendasikan. Sampe gak tahu gimana, ketemulah Novus Giri Hotel ini.
Begitu lihat gambar-gambar hotelnya, mupeng. Kok kayaknya zen banget ya, asri, dan kaya Bali! Gue paling tergiur pas lihat kamar yang ada private hot pool-nya. Duileeee.. mao..mao…mao (tapi mihil).
Dari lihat-lihat dan mupeng itu, gw tawarin lah ke beberapa kawan dekat yang sama sibuknya.
Kami sempet bolak-balik liat situs travel juga, ternyata di Bogor atau Puncak itu diam-diam udah banyak hotel yang nawarin ‘kedamaian’ a la Bali. Latar pemandangan yang indah atau infinity pool.
Tapi hati kami memutuskan, kayaknya Novus Giri menggoda deh apalagi yang pakai private pool itu. Hati kami mauu itu, tapi dompet kami tak mampu.
Ujungnya kami pilih kamar superior garden aja, yang cuma lihat kebon. Dan tahu kami pesan hotel ini bulan apa? SEPTEMBER!
Yes Indeed, we’re too busy sampe sampe liburan ke Puncak aja kudu disiapin dua bulan sebelomnya.
Kami pesan untuk 3 hari 2 malam, jadi dari Jumat ke Minggu. Dan akhirnya, pekan lalu, tibalah waktu yang kami nantikan. LIBURAN!
Kami sengaja pilih Jumat untuk hindari kemacetan, tapi kami salah.
Kami belajar macet bukan hal yang bisa dihindari, macet itu adalah pasti seperti kita menghadapi kematian. Yang jadi masalahnya adalah apakah kita punya bekal dan persiapan yang cukup untuk hadapi kemacetan.
(Filosofis Mbak Goes nomor dua di tulisan ini).