“Love is a lot of things.”
Kata Emma, kepada Joshua.
Sejenak, kita review serial dari negeri barat dan tinggalkan drama-drama Korea yang sedang hype banget ya….
Kali ini, gue akan membahas soal serial “Modern Love” – Season 1 yang sebenarnya sudah tayang di 2019 (kalau gak salah), tapi baru gue tonton sampai khatam sekitar bulan lalu. Dan, gue sama sekali tidak menyesal berlangganan Amazon demi menonton serial ini…
Season pertama yang mendapat nominasi Emmy Award ini terdiri dari 8 episode, masing-masing (konon) diangkat dari kisah cinta yang nyata dan terjadi di New York.
Setiap episode terdapat bintang-bintang Hollywood yang wajahnya familiar. Seperti Dev Pathel, Anne Hatthaway, Tina Fey, dan lainnya.
Dari 6 episode tersebut, gue suka semuanya. Sebab, setiap cerita menggambarkan kisah cinta yang berbeda. Cinta gak melulu soal sepasang kekasih wanita dan pria, cinta bisa berupa kisah lama yang begitu hangat, kisah orang asing yang kemudian menjadi seperti keluarga sendiri, tentang seorang gadis yang merindukan sosok ayahnya pada seorang pria, atau kisah tentang diri kita yang memaafkan dan menerima diri sendiri.
“Love is a lot of things,” kata Emma kepada Joshua, yang gue cuplik dari episode 2 Modern Love yang bertajuk “When Cupid is a Prying Journalist”.
Tentunya, dari 8 episode tersebut, kalau bisa gue pilih 3 terbaik-nya adalah 3 episode ini:
- When the Doorman is Your Main Man
- Take Me as I am Who Ever I am , dan
- Hers was a world of One
Jika tidak keberatan (yaelah), izinkan gue untuk mengulas alasan di balik kenapa gue jatuh hati pada 3 episode tersebut.
Episode pertama yang berjudul “When the Doorman is Your Main Man” sangat cocok sebagai episode pembuka, pencuri perhatian, yang membuat kita menanti episode-episode berikutnya.
Seperti judulnya, Doorman is Your Main Man. Berkisah tentang penjaga apartemen bernama Guzmin, yang menjadi pembuka pintu untuk para penghuni apartemen sekaligus para penonton serial ini.
Guzmin, dikenal oleh Maggie sebagai doorman yang kepo dengan urusan asmaranya. Maggie adalah perempuan single, cerdas, bertubuh mungil, dan hidup sendiri di kota yang begitu sibuk dan megah.
Setiap Maggie berkencan dengan pria, Guzmin akan mengingatkan Maggie tentang si pria tersebut. Kayak; jangan sama yang ini, yang ini ga beres Mag, aduhh yang begini lagi. Tapi Guzmin menyampaikannya dengan gaya yang cool dan selow, gak kaya emak emak yang suka komen di IG selebriti.
Anehnya, penilaian Guzmin tentang pria yang dikencani Maggie selalu benar. Akhirnya, Guzmin dan Maggie berteman, meskipun sedikit janggal.
Pertemanan ini semakin kuat ketika Maggie diketahui hamil dari salah seorang teman kencan pria-nya. Maggie dan pria itu sama-sama tidak mau menikah, tapi memutuskan untuk melahirkan dan membesarkan sang anak.
Di masa-masa inilah pertemanan Maggie dan Guzmin semakin erat, hingga akhirnya Maggie melahirkan seorang putri dan putri-nya ini sering dititipkan kepada Guzmin, saat Maggie sibuk bekerja.
Tanpa sadar, ikatan pertemanan mereka lebih kuat. Bagi Maggie dan putrinya, Guzmin adalah keluarga. Seperti Ayah untuk Maggie, dan kakek untuk putrinya.
Hingga suatu saat Maggie harus pindah karena pekerjaan dan membawa serta putrinya.
Sekitar beberapa tahun tak berjumpa, Maggie akhirnya membuka diri untuk berkencan lagi. Kali ini untuk jenjang lebih serius. Tapi, seperti biasa, sang pria harus melewati “Tes Guzmin”.
Diboyong jauh-jauh ke apartemen lamanya di New York, Maggie dan Guzmin reuni kembali. Saat Maggie mengenalkan calonnya ke Guzmin, kali ini Guzmin merestui dan mendoakan mereka bahagia.
Ada sebuah pertanyaan yang membuat Maggie penasaran dari dulu, kenapa Guzmin bisa tahu mana lelaki yang tepat dan tidak tepat untuknya. “Bagaimana cara kamu menilai mereka, apa yang kau lihat dari mereka,” tanya Maggie.
Guzmin menjawab dengan tenang. “Saya tidak pernah melihat mereka, Maggie. Yang saya lihat adalah bagaimana matamu memandang mereka.”
EAAAAAAAAA! THAT’S SO SO SO SO SO SWEEEEET!