Tampilkan postingan dengan label Pertemanan Sehat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pertemanan Sehat. Tampilkan semua postingan

Rabu, 25 Desember 2019

Selamat Ulang Tahun, Sutji Decilya!





Saya orang yang percaya, jodoh itu bukan cuma urusan percintaan dengan lawan jenis. Tapi juga pekerjaan, pertemanan, dan juga sesuatu yang tidak pintar (itu BODOH, Gus!).

Nah, di hari istimewa ini, saya mau ucapkan selamat ulang tahun buat salah satu sahabat saya yang paling berarti: Sutji Decilya!

Mungkin sudah banyak yang tahu (ah, sok tenar lau Gus!), saya dan Sutji berkawan sejak kami sama-sama jadi calon reporter Tempo tahun 2009. Awalnya mah kami gak dekat-dekat banget, Sutji lebih karib dengan satu kawan lagi yang sekarang jadi seleb di dunia maya. 


Tapi, entah kenapa nasib mempertemukan kami terus. Waktu itu carep Tempo ada 19 orang ditambah 1 mahkluk jadi-jadian dari Depok bernama Sutji. 


Waktu pelatihan carep, ada 3 orang yang kayaknya sangat kompetitif dan semangat buat jadi reporter Tempo. Satu laki-laki dan dua perempuan, salah satunya Sutji. Paling semangat buat nanya, paling kenceng kalo ketawa.

Anwil, Sutji, Gusti zaman dahulu kala, masih pada kurus kurus anjay


Mana dulu gigi dia belom dipasang behel, jadi kalo ketawa kencengnya bukan main. Kuntilanak kalo denger Sutji ketawa juga jiper, asli. Itu kuntilanak pasti langsung nabung buat kursus vokal biar ketawanya gak kalah sama Sutji. 

Inti cerita, usai pelatihan kami masuk satu kelompok. Isi kelompok itu ada beberapa orang; Saya, Sutji Decilya, Dwika, Rosalina, Evana Dewi, Febriana, dan Anton William. 

sutji, gusti, anwil, ocha, febro, eva, dwika di taman safari

Baca petualangan kami di taman safari di sini ya!


Pos pertama kali kami desk nasional, Sutji jaga pos Polri. Ini bocah tiap hari pulang-pergi Depok-Jakarta naik motor, cewek. Berangkat pagi, pulang malam dan mampu membobol para senior. Dahsyat lah, kaya acara musik pagi-pagi di RCTI dulu!

Untung cuma 3 bulan dia di sana, kalau sampai setahun udah jadi koordinator lapangan pasti. Saking jagonya dan terkenalnya Sutji jagain pos kepolisian, polisi tidur kalo ketemu dia sampai bangun terus beri salam. 

Habis itu kami pindah ke kompartemen ekonomi, di sini kami mulai jadi dekat banget. Sebenernya sebelumnya udah dekat, toh kita abis liputan juga janjian nongkrong terus rame-rame. Maklum darah muda. 


Anwil, Sutji, Gusti, Eva, Dwika ..luphhh!


Tapi di ekonomi ini kami jadi makin dekat, karena pos kami dekatan. Kami sama-sama di sektor riil. Sutji di perhubungan, saya di Kementerian Energi. Kalau saya gak masuk, Sutji yang gantiin. Kalau Sutji gak masuk, saya cari-cari alasan biar gak gantiin dia. 

Travelling pertama duo bocah edan ke luar negeri tahun 2012, berangkat sebelum subuh berkumandang


Jalan 4 atau 5 tahun persahabatan kami, ciyeee, ada satu momen yang bikin kami merasa bahwa kami itu ternyata emang jodoh sedari dulu. 

Saya lupa persis apa awal obrolan kami saat itu, tapi yang pasti kami sama-sama sedang bahas Goenawan Mohamad, dedengkot Tempo. 

Intinya saya bahas obrolan soal dulu waktu zaman kuliah, saya baca Tempo kayak baca Quran. 

“Gue baca belakangnya dulu, Cay. Gue baca catatan pinggir GM dulu, gue coba-coba cerna dan resapi maknanya. Gilak, dalam banget waktu itu pikir gue, padahal cuma sehalaman.” 

Jadi dulu saya emang baca Tempo dari halaman catatan pinggir di belakang terus baru ke depan, dari kanan ke kiri jadinya kaya kitab suci. Kalau sekarang mah, kadang itu catatan kaga kebaca saking males mikirnya.

Terus kami bercerita, sejak kapan tahu soal sosok Goenawan Mohamad. Dari cerita itu terungkap, kami sudah tahu Goenawan Mohamad sejak kami duduk di bangku SMP. 

BANGGA GAK LU, ANAK SMP TAHON 2000-an UDAH KENAL GM SEBAGAI JURNALIS, BUKAN SEBAGAI BAKMI?!!!!

Sungguh tidak lazim bukan?? Ternyata setelah ditelusuri lebih dalam, kami sama-sama kenal GM sejak SMP karena pernah ikut lomba puisi yang sama dulu sewaktu SMP!

“Lah, lombanya di Gramedia Matraman bukan?”
“Lah iyak, puisinya yang judulnya Yap Thiam Hien itu kan yang wajib?” 
“Iyak, judul bukunya Asmaradana!” 

Kata kami bersahut-sahutan, lalu kami sama-sama membawakan satu bait puisi yang kami masih ingat sampai sekarang.

“Kyai Bisri, Di manakah kau Kyai!”

Lalu kami ketawa-ketawa, kebayang kan? Anak SMP, udah disuruh hapalan surat-surat pendek Quran dan doa solat jenazah buat ujian, pakai acara disuruh hapalin puisi-puisi Goenawan Mohamad juga waktu dulu. 

“Lu menang gak, Cay, waktu itu?” tanya Saya. 
“Menang gue, Gustay. Gila kali lu ya, bacot kita udah kenceng gini, pasti jago baca puisi,” jawab Sutci.
“Oh iyak juga, juara berapa lau?” Saya gak mau kalah.
“Lupa gue, tapi harapan I apa II yak,” kata Sutci. 
“Lah sama, gue paling ujung Cay berdirinya di panggung. Berarti gue harapan II, lau I. KITA SEBELAHAN WAKTU ITU BERARTI Di PANGGUNG” 
“LAH…LAH…BISA BEGITU YAK.” 

Lalu kami berdua ketawa gak berhenti, memang cara Tuhan bekerja untuk mempertemukan insannya itu suka tak terbayang. 

Sutji dan Gusti sudah jadi wanita post modern, asoyy


Kamis, 22 Agustus 2019

Pecel Ayam & Pertemanan dengan Vegetarian "KW"




Ini cerita sebenarnya sudah lama, tapi wajib diceritakan lagi biar tidak lupa. Kebetulan juga hari ini saya ingin menulis sesuatu di luar berita, dan hal-hal berat. 

Cerita ini nyata, terjadi beberapa tahun lalu Mungkin sekitar 2012 sampai 2014. Kisah tentang 3 orang yang mau tidak mau akhirnya bersahabat, yakni saya, Ayu, dan Rangga. 

Kami waktu itu sama-sama jadi wartawan dan nge-pos bareng di kementerian energi. Bareng bersama kawan-kawan lainnya, kalau selesai liputan kami pasti berburu makanan. Begitu juga kalau di press room, kami lebih banyak mengunyah ketimbang menulis. Bentar-bentar pencet telepon kantin.

Pesannya sendiri, tapi dimakannya rame-rame. Jadi ibu dan mas-mas kantinnya capek. Misal, yang pertama pesan Ayu. Dia pesan teh manis anget, indomie, dan roti bakar. Nanti yang ngabisin saya dan Rangga. Terus disusul Rangga yang pesan. Nah, kalo saya.... paling belakangan dan males. Soalnya kan udah makan punya Ayu dan Rangga, ngapain beli lagi?

Begitu pertemanan kami berjalan berbulan-bulan, sama-sama makan bareng, kerja bareng, karaoke bareng. 

Sampai suatu saat, saya dan Ayu ketemu mbak-mbak humas. Kebetulan, Mbak humas ini abis nemenin wartawan-wartawan dinas luar kota ke lokasi proyeknya, salah satu pesertanya adalah Rangga. Saat bertemu kami, Mbak Humasnya ini cerita dengan sangat antusias.

"Aduhhh iyaa, kemarin ada Rangga. Kasihan deh, dia kan vegetarian, jadi agak susah makanannya. Sementara di sana adanya seafood doang."

Begitu denger mbaknya bilang Rangga adalah vegetarian, risoles kentang saya langsung jatoh ke tatakan piring. "Hah, vegetarian?" 

begini kira-kira ekspresi saya dan Ayu waktu itu 


Saya dan Ayu sontak lirik-lirikan. "Emang Rangga Vegetarian?" Tanya Ayu, "Lah, kemaren dia ngembat pizza banyak," saya coba mengingat.
"Lah iya, Mbak. Kemarenan kan dia juga makan bakso."

Lalu, saya dan Ayu mencoba mengingat makanan apa saja yang pernah kami lihat Rangga mengunyahnya; pizza, martabak, cilok, bakso, somay, gado-gado, gorengan, roti bakar, indomie telor, mie ayam, ketoprak, nasi gila, hampir semua. 

VEGETARIAN DARI MANANYA?

Besoknya, saya dan Ayu ketemu Rangga. Hal yang pertama kami tanya adalah, "Mabs, emang lau vegetarian?" 
"Iya nih, lo kemaren makan pizza, bakso, ketoprak, gue sampe bingung pas ada yang bilang lau vegetarian," Ayu menimpali.

Rangga pun bingung menjawabnya. "Begini Mabs, kan repot kalo gue jawab sama mbak-nya kalau gue ga bisa makan daging-dagingan langsung. Daripada repot, mending gue bilang gue vegetarian."

Oalaaaaaaa, jadi Rangga bukan vegetarian tapi memang usus dan mulutnya aja yang gak elite. 
Tapi jujur, baru kali ini saya dan Ayu tahu bahwa Rangga gak bisa makan daging. Lantas, apakah kami langsung menghormati pilihan gaya hidup kawan kami?

ENGGAK dong!
Salah sendiri lah gak bisa makan daging, masa kita diajak susah juga. Justru begitu dia bilang gak bisa makan daging, kalo soal makan kami malah milih tempat yang banyak daging sedikit sayur. Paling dia cuma bisa bilang, "Suek."

Sabtu, 19 Januari 2019

Pertemanan (Ceritanya) Kepingin Sehat

Seperti orang kebanyakan, setiap awal tahun pasti dimulai dengan resolusi. Apa yang mau dicapai tahun ini?

Dan seperti tahun-tahun, atau bahkan dekade, sebelumnya. Resolusi 2019 pastinya masih tetap mainstream; pengen kurus, pengen sehat, pengen hemat, pengen kawin, pengen kawin lagi..eh. Gitulah.

Nah, menurut penelitian orang-orang yang kerjanya meneliti dan kami tinggal baca, agar suatu impian atau resolusi bisa terwujud ada baiknya dilakukan secara berkelompok. 

Sama toh seperti kerja kelompok, mau tidak mau pasti kelar, meskipun yang kerja akhirnya cuma seorang. Mungkin itu alasannya, kenapa berkelompok selalu sukses. Meski ada yang dikorbankan. 

Kebetulan, saya punya geng yang sangat-sangat tidak jelas. Isinya orang-orang yang punya keinginan fisik warbyasa dengan nafsu makan dan jajan yang tak kalah juara. Sebut saja nama sebenarnya; Gue, Rangga, Iwan, Abud, Maik. 

5 sekawan ini mulai resah dengan bentukan badannya, dan ingin sehat di tahun ini. Kami ingin punya pertemanan sehat seperti Dian Sastro dan kawan-kawan. Pertemanan yang kalo janjian lari bareng di Jerman, atau buka restoran diet di mal. 

Kek gini loh contoh pertemanan sehat. Pic by Hitts via Google


Bukan pertemanan yang kalo janjian buat; males datang pagi ke kantor, mabur nonton, bagi donlotan, atau janjian nirfaedah lainnya. Kami ingin jadi #Pertemanansehat.

Tapi, berhubung kami masih sebatas kepingin sehat, jadilah saat dilontarkan ide-ide hidup sehat banyak terjadi tawar menawar dan persengketaan di grup BBM. 

Oh iya, kami pake BBM Group, soalnya buat cari duit di #groupwar!  Mayan buat nonton gratis kalo dapat uang di DANA wkwkwkw. 

Ajakan pertama adalah sepekan tanpa gorengan, reaksinya adalah sebagai berikut. Penolakan yang terjadi adalah penolakan kelas berat, ini ibarat tawaran untuk memilih Jokowi sebagai presiden ke kaum kampret atau sebaliknya, tawaran memilih Prabowo ke kaum cebong. Mustahil disepakati. 

Seminggu Tanpa Gorengan, Berat!