Tampilkan postingan dengan label Yang Dibaca. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Yang Dibaca. Tampilkan semua postingan

Jumat, 16 Oktober 2020

Review Buku: Almond, Cerita Remaja Tak Punya Emosi





Pernah gak sih kalian bertanya-tanya kenapa Tuhan memberikan kita suatu kondisi atau ujian tertentu? Lalu, jawabannya baru kalian dapat bertahun-tahun kemudian. 


Itu kira-kira pesan yang gue tangkap saat membaca buku Almond, karya penulis Korea Selatan Sohn Won Pyung. 


Berkisah soal Yunjae, anak lelaki yang terlahir dengan kondisi alexythimia yang menyebabkan dia tidak memiliki emosi. Artinya, Yunjae tidak tahu apa itu perasaan sedih, gembira, marah, dan emosi lainnya. Datar dan lempeng aja gitu hidupnya. 


Kondisi ini disebabkan karena amygdala-nya (cmiiw) yang berbentuk seperti almond di kepalanya underdeveloped. 


Yunjae tinggal bersama ibu dan neneknya. Ibunya kerap memaksa Yunjae sering memakan almond, yang Yunjae pikir mungkin bisa membantu “almond” di kepalanya lebih membesar. Mungkin itu alasan kenapa buku ini diberi judul “Almond”. 


Penulis menuturkan betapa Yunjae kesulitan membaca dan merasakan emosi dengan sangat apik. Kekhawatiran sang ibu ditekankan betul, Yunjae ‘dipaksa’ menghafal beberapa kata penting agar terhindar dari masalah atau bahkan demi tak dirundung anak lain. 


Yunjae dan keluarganya tinggal di sebuah toko buku milik sang nenek, di atasnya terdapat toko roti yang dimiliki oleh seorang kakek. Di sekolah dan di lingkungannya, Yunjae dikenal sebagai ‘monster’ karena tidak memiliki emosi. 


Meski begitu, rasa sayang nenek dan ibunya tak pernah habis untuk Yunjae. 


Suatu waktu, keluarga kecil ini pergi merayakan ulang tahun Yunjae di sebuah restoran. Lalu sebuah tragedi terjadi, seorang perampok mengamuk di jalanan dan berujung dengan tewasnya sang nenek dan ibu Yunjae terluka berat hingga kondisi koma. 


Sang nenek tewas karena ingin melindungi Yunjae, begitu juga ibunya yang kondisinya lebih seperti orang mati ketimbang hidup. 


Di usia belasan tahun, menyaksikan nenek dan ibunya dibantai di depan mata. Lalu ditinggalkan oleh keduanya, yang merupakan satu-satunya keluarga yang ia miliki.. bisa kebayang bagaimana hancurnya Yunjae kalau ia bisa merasakan emosi?


Gue seakan tertampar saat membacanya. Kalo gue jadi Yunjae sih pasti udah gak sanggup dengan segala kondisi itu, jadi gue berpikir mungkin Tuhan memberikan kondisi istimewa itu ke Yunjae karena sudah tahu akan apa yang terjadi di masa depan. 


(Ya bukan Tuhan juga sih, tapi penulisnya).

Cerita lalu mengalir, Yunjae bertemu dengan karakter-karakter baru yang membuatnya berpikir lebih keras untuk berempati.


Salah satunya Gon, anak liar yang sangat kebalikan dengan Yunjae. Jika Yunjae lembut di luar namun keras di dalam karena tak ada emosi, Gon justru tampak keras di luar namun super perasa di dalam karena pengalaman traumatis masa kecilnya. 


Secara keseluruhan, buku ini khas banget buku-buku penulis Korea Selatan yang menggali lebih dalam makna hubungan antar manusia. Kata-kata yang dipilih tidak sulit atau jarang menggunakan ungkapan, tapi bisa membuat kita berpikir cukup dalam karena kita diajak menyelami isi kepala Yunjae. 


Kita diajak merasakan menjadi Yunjae yang tidak punya emosi. Sebuah kondisi yang jujur membuat gue iri saat ini. Gue sampai berpikir, kondisi ini semacam berkat bagi Sebagian orang yang justru overburden akibat emosi-emosi yang menumpuk di dirinya. (Sedikit curcol). 


Jujur aja gue baca buku ini karena ini buku yang dibaca oleh Suga BTS….. receh banget kan alasan gue. Haha!





Apapun yang Namjoon, Suga, V baca..harus gue baca! 


Buku ini udah ada terjemahan Bahasa Indonesia dan bisa dipesan onlen di situs buku terbesar itu lohhhh…..


Sedikit tambahan dalam review mungkin, entah kenapa belakangan ini Korea lagi hobi mengangkat isu alexythimia ini. Entah kebetulan atau tidak, selain buku Almond…ada juga drama-drama yang mengangkat isu ini. Salah satunya adalah Flower of Evil yang dibintangi oleh actor Lee Jun Ki dan Alice yang dibintangi oleh aktor Jo Woon. 


Kedua drama yang gue sebut di atas itu juga bagus sih, terutama Flower of Evil. 


Ada kesamaan dari buku dan drama-drama ini, meskipun kepala tidak bisa menangkap sinyal untuk membaca emosi..perlu dicatat para karakter ini masih memiliki hati. Jadi mereka bertindak tanpa sadar oleh hati mereka, tanpa tahu itu emosi apa. 


Selamat membaca! 



Kamis, 13 September 2018

Book & Movie Review: To All The Boys I've Loved Before


Pic courtesy Jenny Han


Lara Jean Covey adalah gadis romantis, yang tak berani jatuh cinta. Menyukai banyak pria, tapi hanya sebatas mendambakan mereka.

Ia mengungkapkan perasaannya lewat sepucuk surat, yang dimasukkan dalam amplop berwarna-warni dan ditujukan langsung ke alamat lelaki yang ia sukai. 

Setiap suratnya ia tulis sepenuh hati,  mulai dari nama lengkap, kapan mereka pertama bertemu dan hal apa yang membuatnya jatuh hati pada pria tersebut.

Terkadang ia jatuh hati karena pria itu menghabiskan sore hari sambil hujan-hujanan bersamanya. Ia juga bisa jatuh hati karena lelaki itu pandai berdansa dan bergaya. Lara Jean juga bisa tiba-tiba suka dengan pria karena ciuman yang tak disengaja. Sebelum ciuman itu terjadi, Lara Jean bahkan tak peduli dengannya.

Tapi yang paling pasti dan menjadi rahasia terdalam Lara Jean adalah ia menyukai tetangga, yang juga teman sejak kecilnya, sekaligus pacar kakaknya. Ini yang paling rumit.

Lara Jean Covey, gadis blasteran Korea-Amerika, secara keseluruhan dalam 16 tahun hidupnya telah menyukai 5 orang pria dan menulis surat untuk kelima pria tersebut tentang perasaannya.

Hanya saja, surat-surat itu tidak pernah sungguh-sungguh ia kirim ke mereka. Melainkan ia simpan rapat-rapat di sebuah kotak topi, peninggalan dari mendiang ibunya, dan tak pernah ia buka lagi. Seperti ia menutup rapat perasaannya dan menjadikan pria-pria itu bukti masa lalu akan kebodohannya.

Hingga pada suatu hari, kelima suratnya menghilang dan terkirim kepada pria-pria tersebut. Di sini, petualangan cinta Lara Jean dimulai.

Minggu, 08 Mei 2016

Big Bad Wolf Jakarta Haul & Review

Terus terang ini adalah pameran buku yang paling membingungkan buat gue.

Pertama adalah karena gue pikir pameran ini sudah selesai, hahahaa. Seinget gue poster dan pengumuman soal ajang pameran buku terbesar sejagad nusantara udah nongol sejak beberapa bulan lalu, jadi gue pikir ini udah lewat. Sampai akhirnya ada lagi poster yang edisi baru yang nyebut baru berlangsung di Mei ini. Ok.

Kedua …gue lagi-lagi berpikir pameran ini udah habis, sampai akhirnya ada pengumuman perpanjangan dan waktu pameran 24 jam….wow.

Ketiga , karena judulnya adalah Big Bad Wolf Jakarta tapi berlangsungnya di Tangerang Selatan! Jadi gue bener-bener bingung, haha!! Apakah ini tanda akan ada peleburan wilayahnya Airin ke Jakarta ?

Sebagai penikmat buku, yang belakangan lebih hobi menumpuk ketimbang membaca, jelas gak boleh ketinggalan dan harus datang ke pameran. Meski beda provinsi tetap ku sambangi. Apalagi ada iming-iming diskon lebih dari 60 persen, bahkan sampai 80 persen!!

Postingan dan cerita kawan-kawan soal pameran ini pun bersliweran di sosial media. Rata-rata pada mengeluh soal antrian bayar di kasir yang bisa sampai berjam-jam, well buat gue yang pernah antri tiket konser sampe dua hari dua malam …it means nothing. LOL.

Gue lebih fokus pada buku-buku yang berada di sana, karena disebut ini pameran buku impor. Pengen tahu aja buku seperti apa yang ada di sana, gue khawatir jangan-jangan kaya buku-buku impor diskonan yang suka ada di Fx itu. Rata-rata isinya buku lama dan gak jelas-jelas. U know what I mean dah ya.

Teruslah gw searching di instagram siapa dan dapat buku apa di sana. Lebih banyak buku anak-anak, ada yang dapat Sherlock Holmes edisi special dengan gambar timbul (Ini yang gue mau cari!), lalu beberapa fiksi dan non fiksi pas gue lihat-lihat judul dan pengarangnya biasa aja.

Dari hasil riset di medsos, intinya gue mendapat kesimpulan ke pameran ini seperti berburu, kalau beruntung bisa dapat buku bagus. Oke, jadi tetap lumayan layak disambangi.

Tumpukan Hunger Games di Big Bad Wolf

Suasana Big Bad Wolf Jakarta 2016..itu adeknya ngapain ngengkang begitu ?


Sabtu, 10 Oktober 2015

Book Review : The Rosie Project




Don Tillman, 39, profesor bidang genetik yang bergaya nyentrik akhirnya memutuskan untuk menikah. Atau setidaknya mulai serius mencari wanita untuk jadi pendamping hidup.

Dasar ilmuwan totok, untuk mencari jodoh pun ia sampai memakai metode ilmiah yang ia sebut sebagai The Wife Project. Ia membuat kuesioner 16 halaman bolak-balik untuk menjaring perempuan yang ia pikir akan cocok untuk hidup bersamanya. Wanita sempurna menurut definisi Don adalah dia yang selalu tepat waktu, bukan vegetarian, bukan perokok, menyukai matematika, rajin berolahraga, dan tidak punya penyakit kelamin. Itupun baru sebagian dari bejibun syarat lainnya. Buat Don, lebih sedikit risiko konflik karena perbedaan lebih baik.

Rosie Jarman otomatis tercoret sebagai kandidat impian. Perempuan usia 30 tahun yang suatu malam tiba-tiba dikirim oleh sahabat Don, Gene, ke apartemennya ini sama sekali tidak memenuhi syarat untuk menjadi istri ideal. Rosie adalah perokok, hobi ngaret, dan bartender berambut merah yang penampilannya kadang terlalu atraktif, buat mata Don. Ditambah Rosie seorang vegan! Yang jelas-jelas akan menganggu pola makan Don yang karnivora...omnivora malah!

Anehnya, kehadiran Rosie mengusik hidup Don dalam arti tidak negatif. Don jelas terganggu dengan gaya hidup Rosie yang spontan dan berlawanan dengannya yang super terjadwal. Tapi sejauh ini, ia menikmatinya tuh. Don terseret dalam petualangan mencari ayah kandung Rosie, The Wife Project pun bergeser menjadi The Father Project, yang menurut istilah Don lebih didorong alasan irasional ketimbang logika. Baru belakangan Don sadar bahwa segala alasan irasional itu adalah Rosie. Baru belakangan ia paham, bahwa cinta tidak perlu dicari dan diseleksi lewat metode apapun, karena dia akan datang sendiri dan menghampiri tanpa terduga.

***

The Rosie Project ditulis oleh penulis Australia Graeme Simsion. Ini adalah buku fiksi pertama yang ditulis Graeme, mantan konsultan IT yang biasanya nulis buku-buku soal ilmu terapan, database, IT, bla-bla-bla yang lebih banyak angka ketimbang huruf itu.

Tanpa diduga, karya fiksi pertamanya ini sukses besar dan masuk dalam New York Times best seller!!! 

Saya lihat buku ini di Kinokuniya PS, tadinya sempat bimbang antara beli buku ini atau buku si pengarang Jurassic Park yang baru dengan genre thriller. Tapi berhubung hidup lagi sedikit berkemelut, genre Romantic Comedy tampaknya lebih pas untuk memaniskan hari.

Sempat putus asa waktu lihat harganya, ya Tuhan pelemahan rupiah ini begitu menyiksa hamba! Kalau harga normal mungkin buku ini cuma seharga Rp 180.000 - Rp 200.000 , ini jadi Rp 250.000. Hiks! Di waktu-waktu kritis sebelum menuju kasir bahkan sempat berpikir beli di situs luar aja kaya Book Depository atau Amazon, dengan risiko baru sampai berbulan-bulan ke depan. Duh, mana tahan!

Akhirnya memutuskan beli dengan cara kredit dan bersumpah bulan ini gak bakal beli buku lagi (tapi komik gak dihitung).

Setelah beli, dan mesti agak hemat sana-sini, halaman pertama buku ini langsung mencuri hati dan mengundang tawa! Sudut pandang yang digunakan Graeme adalah sudut pandang laki-laki, yang jelas susah dijumpai untuk novel bergenre Romantic Comedy. Bahasa yang dipakai untuk menjelaskan isi pikiran Don, si karakter utama, adalah bahasa ilmiah yang entah bagaimana  bisa diolah menjadi kalimat-kalimat jenaka oleh Graeme.

Well, kalau kalian penikmat Romantic Comedy, buku yang ini gak boleh dilewatkan. Apalagi denger-denger buku ini akan difilmkan, can't wait to see!!!









Selasa, 09 Desember 2014

Review Buku : Attachments (By Rainbow Rowell)

“Do you believe in love at first sight?" she asked

He made himself look at her face, at her wide-open eyes and earnest forehead. At her unbearably sweet mouth.

"I don't know," he said. "Do you believe in love before that?”




Rainbow Rowell punya ciri khas dalam setiap karyanya : “manis”

“Manis”-nya itu seperti puding coklat dengan siraman sesendok fla vanilla. Pas dan ngangenin. 

Itulah yang saya rasakan setiap membaca buku karya Rainbow Rowell. Sejak baca “Eleanor dan Park”, saya sudah bersumpah tidak akan melewatkan karya-karya dia berikutnya. (lebay yes).

Cerita yang Rowell sajikan sebenarnya sederhana, namun menyihir. Ya seperti puding coklat, yang sekenyang apapun dan penuhnya perut sehabis menyantap nasi padang, jika ditawarkan puding untuk menutup hidangan …pasti sulit untuk ditolak.

Nah, tahu-tahu saat jalan-jalan ganjen di toko buku…saya ngelihat karya baru pengarang favorit saya ini. Judulnya “Attachments”.

Sinopsis di balik buku tertulis, buku ini bercerita soal kehidupan seorang pegawai IT yang diam-diam jatuh hati pada salah satu jurnalis wanita. Mereka bekerja di satu kantor, sebuah harian lokal. Dia jatuh hati lantaran kerjaannya ‘memaksa’ dia untuk mengintip email-email pribadi pegawai kantor tersebut.

Beth, nama si Jurnalis Wanita. Sehari-hari menulis untuk kolom review film di harian itu. Ia juga intens berkomunikasi dengan sahabatnya,  Jennifer, seorang copy editor yang tengah menyiapkan diri untuk bisa menjadi ibu. Mereka berkomunikasi di sela-sela jam kerja dengan menggunakan email kantor. Bergosip macam-macam;  kehidupan percintaan, berburu diskonan, pekerjaan, keluh kesah soal kantor, dan sebagainya yang sangat khas perempuan.

Lincoln, nama si pegawai IT, semula hanya iseng memantau dan membaca percakapan kedua sahabat gengges itu. Sekedar mengisi waktunya yang sangat luang kala harus berjaga malam. Percakapan Beth dan Jennifer selalu masuk folder ‘flag’ Lincoln, karena penyalahgunaan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi.

Semestinya Lincoln memberi mereka peringatan, tapi tidak dilakukan. Ia terlalu asik membaca dan menyimak kisah mereka. Terutama gaya bercerita Beth. Ia suka diksi-diksi yang digunakan oleh Beth dalam menulis surat. Ia takjub dengan sudut pandang Beth dalam melihat sesuatu. Ia kagum dengan selera humor Beth yang menggambarkan kecerdasannya.

Ia jatuh cinta pada Beth. Meski belum bertemu dengannya.

Ah!

Rabu, 02 Juli 2014

Review : The Fault In Our Stars

Mana yang bakal kalian pilih ?
Dicintai oleh banyak orang atau dicintai oleh satu orang saja..namun sangat dalam ?


Hazel Grace Lancester memilih yang kedua, dicintai sekaligus mencintai satu orang saja dalam hidupnya dengan sangat mendalam.

Dengan kanker yang melekat di tubuhnya sejak berusia 13 tahun, Hazel sadar dirinya ibarat bom yang bisa meledak kapan saja dan melukai orang-orang yang ada di sekitarnya. Bisa bertahan hidup saja sudah jadi hak istimewa baginya, jatuh cinta tidak pernah terlintas dalam pikirannya.

Tapi takdir bicara lain, ia bertemu dengan Augustus Waters, si pemuda berkaki satu yang tertarik pada Hazel sejak pandangan pertama. Mereka bertemu di support group para penderita kanker, Augustus hadir untuk menemani sahabatnya ,Isaac , yang menderita kanker pada kedua bola matanya.

Sepanjang pertemuan, Augustus tak henti memandang Hazel. Meski selang oksigen selalu menempel di wajah Hazel, baginya itu tidak mengurangi kecantikan Hazel Grace.

“I enjoy looking at beautiful people, and I decided a while ago that I won’t deny myself a simpler pleasures of existence,” kata Augustus…. (yang pasti bikin si Hazel melayang, bohong kalo enggak mah).

Bertemu Augustus adalah pengalaman serba baru bagi Hazel ; baru mengenal kawan lawan jenis, baru memiliki teman berbagi cerita soal buku favorit, baru tahu rasanya menunggu telepon dan sms dari seseorang, dan baru merasakan indahnya dunia saat menyukai seseorang. Hal-hal sepele, namun sangat berarti di persediaan waktunya yang terbatas.

Ada satu buku yang sangat digilai oleh Hazel, yaitu Imperial Affliction karya Peter Van Houten. Menurutnya, buku ini sangat menggambarkan secara riil penderitaan yang dialami oleh pasien kanker. Depresi misalnya, bukanlah efek samping dari kanker.

 “Depresi itu efek samping dari sekarat, dan Peter tahu itu,” kata Hazel.
Augustus pun tertarik untuk membacanya, dan sepakat  dengan Hazel. Sayang, isi novelnya menggantung. Sehingga mereka penasaran dan mengejar si pengarang hingga ke negeri Belanda,  semua biaya ditanggung oleh Augustus. (Well, setiap gadis bakal jatuh hati ama cowok yang mao ongkosin jalan-jalan ke Eropaa yesss).

Romansa pun dimulai, adegan-adegan mesra membanjiri layar lebar. Tapi sayang, hidup gak selamanya buat sayang-sayangan ama pacar.


Tanpa disangka, kanker di tubuh Augustus kembali menyerang. Sepulang dari Belanda keadaan berbalik, Augustus menjadi jauh lebih payah secara fisik dan mental ketimbang Hazel. Mereka resmi jatuh cinta dan berlomba-lomba menuju kematian.

Sama-sama kepayahan, mereka berjuang untuk menikmati sisa waktu yang ada. Bagi Hazel tidak ada waktu yang singkat untuk mencintai Augustus. Augustus memberinya cinta sejati yang secara harfiah akan ia bawa mati nantinya. Secara matematis..some infinites are bigger than other infinities.

Welll…… gue sih nangis pas baca bukunya. Pas nonton mau nangis juga tapi lihat kawan di sebelah udah sesenggukan, gue harus kuat!!! Bahaya kalo keluar bioskop sama-sama nangis.. (gengsi aja sih).
Filmnya cukup bisa mewakili isi buku, para pemerannya juga pas. Okay! Meski ada beberapa adegan yang gak ada di buku (baik dikurangi maupun ditambah-tambah), tapi itu biasalah.
Gue menyarankan kalo kalian lagi labil-labilnya atau baru putus, jangan nonton ini. Daripada ujungnya minta balikan…rempong.

Mungkin kesannya ini film dan buku terlalu menye-menye kali ya, apalagi genrenya Young Adult. Tapi, gue tetap kagum sama pengarangnya, John Green. Soalnya, meski ceritanya sedih dia bisa membawakannya dengan gaya komedi satir. Jadi gimanaaa gitu ya rasanya, tidak secengeng novel-novel romance lainnya tapi cukup membuat kita bersyukur atas nikmat sehat yang ada (yaela!).

Ada lagi yang bikin gue kagum, yaitu obat fiksi phalanxifor yang ada di dalam buku untuk mencegah pertumbuhan kanker Hazel Grace hingga dia bisa bertahan hidup. Well, menurut gue mengarang dan menciptakan nama dan jenis obat itu gak mudah…hahaha karena harus meriset ilmu-ilmu sebrang itu dulu.

Well, mumpung film-nya masih beredar di bioskop….silahkan dinikmati.
XOXO


  

Senin, 30 Juni 2014

Review Buku : Eleanor & Park

Spoiler Alert!!

I’m so into this book lately, well…..at least sampai tadi pagi
This book gives me a sweet torture that I can’t never forget as per today.

pic cr to : google images

Eleanor & Park membawa kita mengingat kembali masa-masa muda (buat yang seumuran gue ya), era 90-an ketika masih berusia belasan tahun.  Zaman dimana U2 begitu digandrungi dan jagoan-jagoan marvel mulai menginvansi imajinasi.

Eleanor & Park adalah sepasang remaja yang ganjil. Berambut merah dan bertubuh besar, Eleanor menjadi gadis yang canggung dan tidak percaya diri. Sementara Park, lahir sebagai pretty boy berkat darah Korea dari ibunya memiliki daya tarik yang berbeda dengan remaja pria sebaya lainnya. Well, perlu diingat ini latar belakangnya tahun 90-an , boyband Korea belom diterima publik saat itu.

Park berjumpa dengan Eleanor di Bus Sekolah, entah bagaimana awalnya mereka menjadi duduk bersama di bus tersebut. Buat Park, Eleanor itu aneh dengan gayanya yang boyish. Begitu juga Eleanor, baginya Park hanya orang asing yang harus ia hadapi saat naik bus.

Mereka tidak pernah berbicara, sama sekali. Hingga suatu saat, Park sadar bahwa setiap dia membuka komiknya di bus, Eleanor diam-diam ikut membaca di sebelahnya. Anehnya, Park tidak merasa risih, dia justru sengaja membuka halaman demi halaman secara perlahan untuk memastikan Eleanor bisa membaca bersama. (D*mn You Sweet Boy!!)


Berawal dari itu, Park pun menyiapkan tumpukan komik untuk dipinjamkan kepada Eleanor. Dari sana, mereka pun mulai dekat dan berbicara satu sama lain. Awalnya cuma ngobrol isi komik, lalu lagu dan band favorit, hingga akhirnya Park mulai menggenggam tangan Eleanor secara diam-diam.

Gaya-gaya PDKT Park ini loh yang bikin sayah senyum-senyum sendiri, karena gayanya 90-an banget. Mulai dari ngajak pulang sekolah bareng, nunggu di bus jemputan (Beh! Andai temen2 mobil jemputan gue SMP dulu ada yang sekece Park!), sampai janjian buat telpon-telponan dari rumah. Yes , telepon-teleponan literally pakai telepon rumah.

Masalahnya hubungan Park dan Eleanor gak melulu lancar jaya. Park dan Eleanor tumbuh dengan kultur dan latar belakang keluarga yang berbeda, apalagi Eleanor yang merupakan putri tertua dari keluarga yang semrawut. Eleanor dengan adik-adiknya yang masih bocah, ibunya yang cantik namun lemah, ayah kandungnya yang tidak acuh, dan ayah tirinya yang bajingan dan kriminal.

Gak heran kalau buku ini bisa mejeng di rak buku terlaris hampir di setiap toko buku impor. Alurnya yang lambat sengaja memberi kita ruang untuk sedikit demi sedikit mengingat rasanya jatuh cinta untuk pertama kali di usia remaja.

Gaya penuturannya pun beda dengan buku kebanyakan. Di buku ini, Rainbow Rowell menulis dengan dua sudut pandang (baik dari Eleanor maupun Park) , tapi dari sisi orang ketiga. Inih yang bikin gemessss bingitz!
Hampir gak ada kekurangannya kecuali di bagian ending, makanya sayah sebut ini buku sweet torture abis. Gue jadi paham perasaannya Hazel Grace sampe ngotot ke Belanda buat ketemu Peter Van Houten dan maksa ngasih tau ending buku ‘Imperial Affliction’.

See?!! Persis, ini yang lagi gue rasain…gue pengen nyamperin tuh si Rainbow Rowell buat kasih tahu apa yang pengen gue tahu secara spesifik, soal tiga kataaa aja dari isi buku itu.
Well, buku ini sangat recommended buat dibaca pokoknya sambil nunggu bedug magrib. Terutama buat kalian para lajang yang sel-sel romantisnya udah mulai kering, wajib baca dahhhhhh…hehehe
Enjoy!

Jumat, 27 Juni 2014

Review Buku : The Selection (Trilogy series by Kiera Cass)

Pernah baca Twilight ?

Tahu kisahnya Cinderella ?

Pasti udah pernah nonton Hunger Games dong ?

How do i smell, prince ??? euuuuu

Nah, kalo gitu ….cukup dicampur adukkan saja semua info yang kalian dapat dari sana, kurangi unsur vampir dan perang, serta bunuh-bunuhannya. Jadilah novel ini.

Well, baca buku ini awalnya karena tertarik covernya yang dipajang di rak paling depan..alias rak khusus buat buku-buku paling laris di Kinokuniya. Apalagi di sampulnya juga ada embel-embel “New York Times Best Seller”, makin penasaran lah gue.

Berhubung harganya lumayan mahal, tapi ngebet banget pengen baca, akhirnya gue beli versi digitalnya aja. Lumayan murah banget , kalo di toko buku sekitar Rp 120 ribuan, versi digital bisa sampe separoh harga di android.

The Selection ini trilogi, seri keduanya itu The Elite dan terakhir The One. Sekali baca buku yang pertama, kita akan disiksa oleh si pengarang untuk memastikan nasib si tokoh utama – yang dari awal udah jelas kita tahu siapa yang bakal dipilih – sampai ke buku ketiga. Yup, itu artinya emosi kita dimainkan oleh si penulis untuk menunggu para tokoh utamanya , akhirnya, menyatakan cinta di buku terakhir. Nyebelin.

Ketiga seri ini bercerita soal America, gadis remaja berambut merah, yang mengikuti seleksi untuk menjadi pasangan seorang pangeran menawan di suatu negeri bernama Illea. Illea ini, FYI, adalah sebuah negeri yang terbentuk sesudah perang dunia ke IV. Perang dimana Amerika Serikat yang sangat digdaya itu akhirnya takluk oleh Cina.

America mengikuti seleksi karena terpaksa. Pertama karena permintaan orang tua, dan kedua karena dorongan pacarnya yang sangat tampan tapi berkasta lebih rendah darinya. Tanpa disadari, iseng-iseng ikut seleksi, tau-tau America lolos menjadi salah satu dari 35 kandidat calon manten Sang Pangeran.

Tak lama sejak mengetahui kabar tersebut, si pacar tampan bernama Aspen pun memutuskannya karena masalah klise pasangan terlalu muda. America pun kabur ke istana untuk mengusir galaunya.

Di istana, America jelas ketemu dengan si Pangeran Maxon (yang menurut dia gak tampan, tapi cukup menawan dan berkharisma). Pangeran Maxon ini ternyata perjaka yang baik hati dan mudah jatuh cinta. Dia memberi perhatian lebih kepada America, namun harus tetap berlaku adil kepada 34 kandidat wanita cantik lainnya….iyeuh.

Dari sini aja kalian pasti udah bisa nebak siapa bakal jadi ama siapa kan ? Ya udah gak usah gue ceritain lagi.

Sebenarnya, dari sisi penulisan cerita udah cakep banget…mengalir. Meskipun kita membaca dari sudut pandang si America yang sangat Isabella Swan ‘Twilight’ sekali. Pasti paham deh gemesnya …(Gue sih sering maki-maki sendiri jadinya, ih bego amat jadi cewekkk..itu udah jelas banget! Gitu)

Rabu, 23 April 2014

Buku, Turki, Perempuan, dan Miss Jinjing


Kayaknya gue udah lama banget gak baca buku yang bisa tamat dalam semalam. Terakhir, buku yang begitu gue buka langsung tamat dalam semalam itu RAPBN 2013 (itu juga harus dibaca karena tugas gawean T.T).

Entah kenapa gue menjadi kurang tertarik sama yang namanya baca buku lama-lama, kayaknya ini efek trauma ketika gue dibagi gratis buku kisah hidup seorang menteri yang bercerita soal masa kecilnya yang pernah mati suri. (sumpey ini serius!! bisa kalian gugling kalo ga percaya).

Padahal, dulu itu gue sanggup membaca apapun. Buku bagus maupun tidak bagus, buku kepake maupun tidak terpakai yang belum dijual di toko bagus. Komik mulai dari Komik Jepang sampe Komik Tatang S, semua gue lahap.

Nah, beberapa hari lalu gue dikasih buku bertajuk "Belanja Sampai Mati di Turki" karya Miss Jinjing. Gue semula berpikir, ini buku apa sih ? Paling sama aja kaya buku panduan wisata lainnya. Tapi begitu gue buka, wowwwww....gue ga bisa berhenti sampai tamat. Dalam waktu 3 jam, gue kelar membacanya. Akhirnya, gue membaca buku dengan normal kembali.

Buku ini berhasil membuat gue membelokkan tujuan wisata gue yang semula ngebet banget ke Korea atau Jepang, jadi ke Turki. Tapi gue rasa ini efek bab yang bercerita kalo di Turki wanita montok berisi jadi idaman di sana.....maoooo!!!

picture cr to Miss Jinjing , dari hasil gugling soalnya inih hehe


Ini buku kesekian dari Miss Jinjing, tapi buku pertama karya doi yang gue baca. Banyak mungkin yang meremehkan buku-buku Miss Jinjing selama ini, utamanya para penulis kelas "atas" (yang bukunya itu kalo dibaca mesti ngerutin jidad biar paham).

Okelah dari sisi penulisan memang ga sistematis *kaya tulisan gue di blog ini, lagian kalo mao liat tulisan gue yang rapi dan baku mah liat aja di berita*. Tapiiiiiiii...si Miss Jinjing ini punya sesuatu yang membuat pembaca terpikat sama bukunya, yaitu "nyawa". Tulisannya jujur dan penuh passion, jadi berasa ada nyawanya.

Ketika loe baca tulisannya,loe akan merasakan kehebohan yang serupa yang dialami oleh penulis tanpa banyak kata hiasan. Dan, si Miss Jinjing ini juga tahu banget apa yang diinginkan pembacanya , informasi apa yang harus disediakan. Sebab gue yakin pasti dia punya lebih banyak info soal Turki *susahloh pilah pilih bahan buat ditulis*.

Membaca bukunya, membuat gue penasaran. Akhirnya, gue gugling lah soal si Miss Jinjing ini sampe gue ketemu blog lawas dan blog barunya (di sini dan sini, ada dua euy). Di blog lawasnya, dia pakai sudut pandang orang ketiga, hehe agak narsis sih..tapi gue akuin jagolah promo dirinya sendiri ;).

Di salah satu tulisan blog-nya, dia bercerita bahwa cita-citanya adalah menjadi penulis tingkat dunia (semoga si Miss Jinjing gak lupa ya). Di situ gue semakin takjub sama si mbak ini. Dia menjelaskan pangsa pasar yang ada dengan jadi penulis tingkat dunia dan sebagainya.

Kemudian gue beralih ke blog-nya yang baru di sini. Baru tahu dia ternyata penulis rutin juga soal gaya hidup, dan gue akui dia mencermati pasar yang satu ini cukup jeli *soalnya gue gak pakar hahaha*. Meski balik lagi, gaya tulisannya masih bergaya blog.

Ada artikel yang membuat gue semakin mengagumi si Mbak satu ini, soalnya meskipun hidup di tengah kaum sosialita dengan gaya yang selangit. Dia gak lupa soal prinsip-prinsip utama dalam hidup, prinsip soal menjadi warga negara yang baik sampe mencoba untuk tetap menjadi umat yang baik.

Salah satunya adalah tulisan dia soal pasar kaum gay, yang menuai kontroversi sampe sekarang. Mau kaya apapun tulisannya, Miss Jinjing ini gak gentar menuliskan wacana dan pendapatnya secara terbuka. Toh, negara menjamin kebebasan berpendapat.

Kalau dibaca secara utuh, tulisan itu sebenarnya bermaksud mengulas soal pangsa pasar kaum gender ketiga (begitu dia sebut) di negeri ini. Sebenarnya bagus, dia menulis soal pasar yang secara diam-diam sudah mulai terbuka di negeri ini dan membandingkannya dengan negara lain yang emang sudah blak-blakan.

Tapi di awalnya emang agak belok karena dia menegaskan posisi dia sebagai perempuan, ibu dan umat beragama. Nah, sikap dia ini kemudian menuai cercaan di jejaring sosial. Jadi melipir ke esensi tulisannya yang soal pasar gender ketiga.

Mungkin karena pembacanya terlalu emosi kali ya, jadi keburu mencaci maki duluan. Padahal di awal tulisan dia bilang dia bukan anti gay, di beberapa tulisan blog dan bukunya dia juga bilang berkawan dengan para gay ini. Di akhir tulisan malah dia tegaskan, gimanapun selama ini "Bukankah Gay is woman best friend forever ? " kata dia.

Well begitulah, Indonesia memang beragam tapi masih belum terbiasa soal pembahasan mengenai perbedaan. Sekali dibahas langsung sensitif. Semua orang pasti punya sudut pandang berbeda tentang suatu hal. Lagian kan berbeda dan tidak setuju bukan berarti benci.

Keep woles and keep writing Miss (atau mestinya udah jadi Madam ya ? hihi ;) )

Minggu, 06 November 2011

FLY DADDY FLY

Ayah, seharusnya adalah seseorang tempat kita bisa bergantung. Ayah, selalu bisa diandalkan dalam segala hal. Mungkin, selama ini seorang anak lebih dekat dengan ibunya ketimbang Sang Ayah. Tetapi, naluri seorang ayah untuk melindungi buah hatinya...tidak ada yang bisa mengalahkan.

Beberapa hari lalu, saya menemukan komik keren yang cukup terkenal dan legendaris di negeri Jepang. Sudah lama mencarinya, akhirnya saya temukan ditumpukan bundelan komik diskonan.. sayang :'(
Hanya dengan Rp 18.000 , saya berhasil mendapatkan komik legendaris itu. "FLY DADDY FLY"


komik FLY DADDY FLY :D ga nyesel beli ini deh 



Komik karya Kaneshiro Kazuki ini mengangkat kisah seorang Ayah yang berjuang mati-matian membela harga diri putri dan keluarganya.

Hajime Suzuki, adalah pria berusia 40-an yang biasa-biasa saja. Dia hanya pegawai swasta biasa, dengan rutinitas hampir membosankan. Setiap hari dia berangkat dan pulang bekerja mengendarai bus yang sama, berjumpa dengan orang yang sama dan terlihat lelah. Keluarganya juga sederhana, tapi disitulah sumber kedamaian hidupnya.

Hidupnya yang datar berubah pada suatu musim panas akibat musibah yang menimpa putrinya, Haruka. Sepulang kerja, dia dikabarkan putrinya yang masih berstatus pelajar tersebut dianiaya oleh orang tak dikenal. Tubuh Haruka babak belur, tapi yang paling hancur adalah keadaan jiwanya yang trauma akibat pelecehan dan penganiayaan tersebut.