Rabu, 26 Februari 2020

Review Crash Landing On You: Masya Allah, Hyun Bin Oppa!





Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan penyayang, yang telah menciptakan makhluknya dengan begitu sempurna dan membuat wanita se-Asia Timur Raya berbahagia, mari kita mulai review drama Korea ter-ku tak sudi sudah berakhir- di awal tahun ini.

Well sebenarnya udah tayang dari akhir-akhir 2019 sih. Tapi apa sih artinya tahun ketika waktu seakan membeku saat melihat wajah tamvan Oppa Hyun Bin.



Okay… (fokus Gus!)

Mari kita mulai dari sisi cerita, Crash Landing On You bercerita tentang kisah cinta antara pengusaha wanita kaya super cantik asal Korea Selatan yang jatuh hati dengan tentara super tampan dari Korea Utara.

Hmm sebenarnya bukan kali ini Korea membuat drama percintaan mustahil antara dua insan beda ideologi negara. Udah banyak drama yang mengangkat soal percintaan penduduk Korea Selatan dan Korea Utara.

Tapi, di drama ini cara dua insan super sempurna ini bertemu lah yang super super ajaib.

Sumpah ya, kalau kalian menonton ini dengan akal sehat tentu tidak bisa menerima alasan kenapa si perempuan bertemu dengan si pria.

Jadi si perempuan, yang bernama Yoon Se Ri (diperankan oleh Son Ye Jin yang tampaknya tak menua berkat pilates) bertemu dengan Ri Jong Hyuk (diperankan oleh Hyun Bin) karena suatu musibah.

Musibah apakah itu?

Yakni, angin topan. Di mana Yoon Se Ri yang punya hobi paragliding tiba-tiba terbawa angina topan terussssss sampai ke perbatasan Korea Utara dan nyangkut di pohon!



SUNGGUH MUSTAHIL BUKAN??!!!

INI SAMA MUSTAHILNYA DENGAN PEREMPUAN BISA HAMIL KALO BERENANG DI KOLAM RENANG CAMPURAN.

SAMA-SAMA MUSTAHIL.

RASANYA AKU INGIN BERKATA...



Sayang KPAI yang ngomong bukan Hyun Bin. Coba deh, dari episode awal aja udah mustahil dan gak masuk akal.. tapi karena yang main Hyun Bin… ya kita semua menerima dengan ikhlas. Namanya juga hati (sama nafsu yang bicara).

Di sini baru kita sadari previlage orang cakep dan ganteng itu riil.


Balik lagi.

Yoon Se Ri nyangkut di pohon dan ditemukan oleh Captain Ri Jong Hyuk. Lalu dari pandangan pertama itu, keduanya udah sama-sama naksir.

Yoon Se Ri bilang bahwa Ri Jong Hyuk adalah tipenya.

Maaf nih Mbak Se Ri kalo boleh nyelak dikit soal Ri Jong Hyuk adalah tipemu.. dalam hal ini..





Perawakan dan wajah kaya Ri Jong Hyuk mah tipe idamannya SEMUA WANITA, bukan kamuh doang mbakk! AKUH JUGA TIPENYA KAYA GITU!

Tapi kan ya, Ri Jong Hyuk aka Hyun Bin itu ibarat Rumah di Pondok Indah yang hanya bisa dibeli cash.

Sementara kemampuanku cuma sanggup nyicil rumah tipe sangat sederhana, dicicil dengan sisa umur, dan di pinggiran sisa-sisa Jakarta. Kasih tak sampai lah.

Mas Ri Jong Hyuk juga karena ngeliat yang nyangkut di pohon secakep Mbak Yoon Se Ri makanya dibawa pulang untuk diselamatin.

Kalo yang nyangkut perempuan pas-pasan kaya gue, kemungkinannya dibawa ke taman safari karena disangka hewan liar atau didiemin aja, sampai akuh menua, mati, jadi fosil, lalu jadi bahan bakar minyak buat bensin oplosan. Astagfirulloh.

"Sadar Gus, Kamu bukan siapa-siapa!" 

Sabtu, 22 Februari 2020

Habibie, SBY, dan Ashraff

pic cr to Tribun 


Tiga pria ini sukses bikin air mata wanita se-Indonesia Raya menetes tanpa henti selama berhari-hari. 

SBY dan Habibie sama-sama pernah jadi presiden. Sementara Bunga Citra Lestari (istri Ashraf), pernah berperan menjadi Ainun dalam film Habibie & Ainun.

Selain irisan kisah hidup karena profesi yang mereka jalani, ketiga pria ini punya satu kesamaan yang disoroti oleh public: cerita cinta yang luar biasa.

Mereka, bisa dibilang kini menjadi sosok pria yang akan (atau sudah) menjadi benchmark nasional untuk lelaki idaman. 

Saat Pak Habibie meninggal, hampir seluruh perempuan mengingatnya sebagai suami yang menangis tersedu di samping makam sang istri. Tangisan dan rautnya saat itu, mutlak menyentuh hati seluruh wanita yang menonton momen pemakaman di layar tv nasional. 

Yah, kita ingat sih bahwa Pak Habibie pernah sukses menciptakan pesawat, menjadi presiden, dan membuat rupiah perkasa melawan dolar.

Tapi bagi kami, segala prestasinya (dan kontroversinya) tetap tak sekuat dan tak sebanding dengan tangisnya yang luruh saat Ibu Ainun tiada. 

Rasa kehilangan Habibie atas kepergian belahan jiwanya seakan menggema. Pak Habibie tidak perlu berkata-kata, saat dia menangis kami semua ikut menitikkan air mata. 

Sesuatu yang tulus, memang tak perlu dibungkus apapun untuk dapat terlihat indah dan diterima kita semua. 

Hal yang sama juga bisa kita lihat saat Pak SBY kehilangan Ibu Ani Yudhoyono. Lepas dari bagaimana dia pernah memimpin negeri ini, semua orang (atau wanita tepatnya) ikut simpatik melihat raut dukanya ketika Ibu Ani pergi.

pic cr to detik


Kita semua tahu, Pak SBY sama sekali tidak beranjak dari sisi Bu Ani selama beliau sakit. Begitu juga Pak Habibie kepada Bu Ainun.

Momen saat Pak Habibie dan Pak SBY bertemu, pesan gambar-gambar yang terjepret kamera pewarta atas dua pria ini sudah cukup terbaca tanpa perlu ditulis.

Habibie kepada SBY saat itu, seakan berkata.. “I Feel You, Bro” 

Dua presiden, dua laki-laki yang pernah memimpin ratusan juta penduduk se-nusantara. Tak malu menangis terisak saat kehilangan belahan jiwanya. Bu Ainun dan Bu Ani mungkin tak bisa menatap wajah suami mereka ketika pergi, tapi kita semua melihatnya. 

Bu, kami semua sangat berterima kasih karena telah menunjukkan bahwa cinta sejati itu masih ada.

Kita sering membaca berita bahwa betapa Pak Habibie tak pernah absen mengunjungi makam Bu Ainun, begitu juga Pak SBY.

Keduanya, jika bercerita tentang mendiang istri mereka juga tak sanggup menahan laju air mata. Siapapun pasti bakal tersentuh dengan kisah mereka. 

Rabu, 25 Desember 2019

Selamat Ulang Tahun, Sutji Decilya!





Saya orang yang percaya, jodoh itu bukan cuma urusan percintaan dengan lawan jenis. Tapi juga pekerjaan, pertemanan, dan juga sesuatu yang tidak pintar (itu BODOH, Gus!).

Nah, di hari istimewa ini, saya mau ucapkan selamat ulang tahun buat salah satu sahabat saya yang paling berarti: Sutji Decilya!

Mungkin sudah banyak yang tahu (ah, sok tenar lau Gus!), saya dan Sutji berkawan sejak kami sama-sama jadi calon reporter Tempo tahun 2009. Awalnya mah kami gak dekat-dekat banget, Sutji lebih karib dengan satu kawan lagi yang sekarang jadi seleb di dunia maya. 


Tapi, entah kenapa nasib mempertemukan kami terus. Waktu itu carep Tempo ada 19 orang ditambah 1 mahkluk jadi-jadian dari Depok bernama Sutji. 


Waktu pelatihan carep, ada 3 orang yang kayaknya sangat kompetitif dan semangat buat jadi reporter Tempo. Satu laki-laki dan dua perempuan, salah satunya Sutji. Paling semangat buat nanya, paling kenceng kalo ketawa.

Anwil, Sutji, Gusti zaman dahulu kala, masih pada kurus kurus anjay


Mana dulu gigi dia belom dipasang behel, jadi kalo ketawa kencengnya bukan main. Kuntilanak kalo denger Sutji ketawa juga jiper, asli. Itu kuntilanak pasti langsung nabung buat kursus vokal biar ketawanya gak kalah sama Sutji. 

Inti cerita, usai pelatihan kami masuk satu kelompok. Isi kelompok itu ada beberapa orang; Saya, Sutji Decilya, Dwika, Rosalina, Evana Dewi, Febriana, dan Anton William. 

sutji, gusti, anwil, ocha, febro, eva, dwika di taman safari

Baca petualangan kami di taman safari di sini ya!


Pos pertama kali kami desk nasional, Sutji jaga pos Polri. Ini bocah tiap hari pulang-pergi Depok-Jakarta naik motor, cewek. Berangkat pagi, pulang malam dan mampu membobol para senior. Dahsyat lah, kaya acara musik pagi-pagi di RCTI dulu!

Untung cuma 3 bulan dia di sana, kalau sampai setahun udah jadi koordinator lapangan pasti. Saking jagonya dan terkenalnya Sutji jagain pos kepolisian, polisi tidur kalo ketemu dia sampai bangun terus beri salam. 

Habis itu kami pindah ke kompartemen ekonomi, di sini kami mulai jadi dekat banget. Sebenernya sebelumnya udah dekat, toh kita abis liputan juga janjian nongkrong terus rame-rame. Maklum darah muda. 


Anwil, Sutji, Gusti, Eva, Dwika ..luphhh!


Tapi di ekonomi ini kami jadi makin dekat, karena pos kami dekatan. Kami sama-sama di sektor riil. Sutji di perhubungan, saya di Kementerian Energi. Kalau saya gak masuk, Sutji yang gantiin. Kalau Sutji gak masuk, saya cari-cari alasan biar gak gantiin dia. 

Travelling pertama duo bocah edan ke luar negeri tahun 2012, berangkat sebelum subuh berkumandang


Jalan 4 atau 5 tahun persahabatan kami, ciyeee, ada satu momen yang bikin kami merasa bahwa kami itu ternyata emang jodoh sedari dulu. 

Saya lupa persis apa awal obrolan kami saat itu, tapi yang pasti kami sama-sama sedang bahas Goenawan Mohamad, dedengkot Tempo. 

Intinya saya bahas obrolan soal dulu waktu zaman kuliah, saya baca Tempo kayak baca Quran. 

“Gue baca belakangnya dulu, Cay. Gue baca catatan pinggir GM dulu, gue coba-coba cerna dan resapi maknanya. Gilak, dalam banget waktu itu pikir gue, padahal cuma sehalaman.” 

Jadi dulu saya emang baca Tempo dari halaman catatan pinggir di belakang terus baru ke depan, dari kanan ke kiri jadinya kaya kitab suci. Kalau sekarang mah, kadang itu catatan kaga kebaca saking males mikirnya.

Terus kami bercerita, sejak kapan tahu soal sosok Goenawan Mohamad. Dari cerita itu terungkap, kami sudah tahu Goenawan Mohamad sejak kami duduk di bangku SMP. 

BANGGA GAK LU, ANAK SMP TAHON 2000-an UDAH KENAL GM SEBAGAI JURNALIS, BUKAN SEBAGAI BAKMI?!!!!

Sungguh tidak lazim bukan?? Ternyata setelah ditelusuri lebih dalam, kami sama-sama kenal GM sejak SMP karena pernah ikut lomba puisi yang sama dulu sewaktu SMP!

“Lah, lombanya di Gramedia Matraman bukan?”
“Lah iyak, puisinya yang judulnya Yap Thiam Hien itu kan yang wajib?” 
“Iyak, judul bukunya Asmaradana!” 

Kata kami bersahut-sahutan, lalu kami sama-sama membawakan satu bait puisi yang kami masih ingat sampai sekarang.

“Kyai Bisri, Di manakah kau Kyai!”

Lalu kami ketawa-ketawa, kebayang kan? Anak SMP, udah disuruh hapalan surat-surat pendek Quran dan doa solat jenazah buat ujian, pakai acara disuruh hapalin puisi-puisi Goenawan Mohamad juga waktu dulu. 

“Lu menang gak, Cay, waktu itu?” tanya Saya. 
“Menang gue, Gustay. Gila kali lu ya, bacot kita udah kenceng gini, pasti jago baca puisi,” jawab Sutci.
“Oh iyak juga, juara berapa lau?” Saya gak mau kalah.
“Lupa gue, tapi harapan I apa II yak,” kata Sutci. 
“Lah sama, gue paling ujung Cay berdirinya di panggung. Berarti gue harapan II, lau I. KITA SEBELAHAN WAKTU ITU BERARTI Di PANGGUNG” 
“LAH…LAH…BISA BEGITU YAK.” 

Lalu kami berdua ketawa gak berhenti, memang cara Tuhan bekerja untuk mempertemukan insannya itu suka tak terbayang. 

Sutji dan Gusti sudah jadi wanita post modern, asoyy


Kamis, 22 Agustus 2019

Pecel Ayam & Pertemanan dengan Vegetarian "KW"




Ini cerita sebenarnya sudah lama, tapi wajib diceritakan lagi biar tidak lupa. Kebetulan juga hari ini saya ingin menulis sesuatu di luar berita, dan hal-hal berat. 

Cerita ini nyata, terjadi beberapa tahun lalu Mungkin sekitar 2012 sampai 2014. Kisah tentang 3 orang yang mau tidak mau akhirnya bersahabat, yakni saya, Ayu, dan Rangga. 

Kami waktu itu sama-sama jadi wartawan dan nge-pos bareng di kementerian energi. Bareng bersama kawan-kawan lainnya, kalau selesai liputan kami pasti berburu makanan. Begitu juga kalau di press room, kami lebih banyak mengunyah ketimbang menulis. Bentar-bentar pencet telepon kantin.

Pesannya sendiri, tapi dimakannya rame-rame. Jadi ibu dan mas-mas kantinnya capek. Misal, yang pertama pesan Ayu. Dia pesan teh manis anget, indomie, dan roti bakar. Nanti yang ngabisin saya dan Rangga. Terus disusul Rangga yang pesan. Nah, kalo saya.... paling belakangan dan males. Soalnya kan udah makan punya Ayu dan Rangga, ngapain beli lagi?

Begitu pertemanan kami berjalan berbulan-bulan, sama-sama makan bareng, kerja bareng, karaoke bareng. 

Sampai suatu saat, saya dan Ayu ketemu mbak-mbak humas. Kebetulan, Mbak humas ini abis nemenin wartawan-wartawan dinas luar kota ke lokasi proyeknya, salah satu pesertanya adalah Rangga. Saat bertemu kami, Mbak Humasnya ini cerita dengan sangat antusias.

"Aduhhh iyaa, kemarin ada Rangga. Kasihan deh, dia kan vegetarian, jadi agak susah makanannya. Sementara di sana adanya seafood doang."

Begitu denger mbaknya bilang Rangga adalah vegetarian, risoles kentang saya langsung jatoh ke tatakan piring. "Hah, vegetarian?" 

begini kira-kira ekspresi saya dan Ayu waktu itu 


Saya dan Ayu sontak lirik-lirikan. "Emang Rangga Vegetarian?" Tanya Ayu, "Lah, kemaren dia ngembat pizza banyak," saya coba mengingat.
"Lah iya, Mbak. Kemarenan kan dia juga makan bakso."

Lalu, saya dan Ayu mencoba mengingat makanan apa saja yang pernah kami lihat Rangga mengunyahnya; pizza, martabak, cilok, bakso, somay, gado-gado, gorengan, roti bakar, indomie telor, mie ayam, ketoprak, nasi gila, hampir semua. 

VEGETARIAN DARI MANANYA?

Besoknya, saya dan Ayu ketemu Rangga. Hal yang pertama kami tanya adalah, "Mabs, emang lau vegetarian?" 
"Iya nih, lo kemaren makan pizza, bakso, ketoprak, gue sampe bingung pas ada yang bilang lau vegetarian," Ayu menimpali.

Rangga pun bingung menjawabnya. "Begini Mabs, kan repot kalo gue jawab sama mbak-nya kalau gue ga bisa makan daging-dagingan langsung. Daripada repot, mending gue bilang gue vegetarian."

Oalaaaaaaa, jadi Rangga bukan vegetarian tapi memang usus dan mulutnya aja yang gak elite. 
Tapi jujur, baru kali ini saya dan Ayu tahu bahwa Rangga gak bisa makan daging. Lantas, apakah kami langsung menghormati pilihan gaya hidup kawan kami?

ENGGAK dong!
Salah sendiri lah gak bisa makan daging, masa kita diajak susah juga. Justru begitu dia bilang gak bisa makan daging, kalo soal makan kami malah milih tempat yang banyak daging sedikit sayur. Paling dia cuma bisa bilang, "Suek."