Minggu, 16 Januari 2022

Tentang Self Reward dengan Barang-barang Branded

Ladies, 


Apa kalian pernah bimbang saat ingin membeli tas atau sepatu dengan merk tertentu sebagai self reward? Untuk membantu menjawabnya, saya mau bercerita agak panjang untuk kalian simpulkan. 


--

Delapan atau sembilan tahun lalu, saya lupa persisnya. Saya dan seorang sahabat pernah berjanji, bahwa suatu hari kelak kami akan sama-sama membeli jam Tag Heuer. Merek jam tangan yang sampai saat ini kami susah menyebutnya dengan benar. 


Saat itu, saya dan kawan masih sama-sama hidup sebagai jurnalis ibu kota. Saya dengan gaji Rp 3 jutaan per bulan, sementara kawan saya agak lebih banyak karena dia dari media berbahasa asing. 


Bukan Rolex, bukan juga Audemars Piguet. Dua merek jam tangan yang biasa kami lihat dikenakan oleh para bapak-bapak pejabat tambang. Jam lapis emas bertahta berlian. Cukup Tag Heuer saja, karena bagi kami itu sudah cukup mahal. 


Janji itu kami sebut, bahkan kami tulis di email. Tadinya, kawan saya menyarankan agar dicetak, lalu dipajang biar selalu diingat. 


Pertanyaannya adalah, kenapa harus Tag Heuer?


Alasannya receh, keren aja. Apalagi waktu itu model si jam tangan masih Chris Hemsworth (sekarang udah jadi Brand Ambassador Boss). Waktu itu, kami sering jalan-jalan ke Grand Indonesia. Begitu masuk pintu West Mall, menengok di sebelah kita langsung disambut foto Chris Hemsworth yang super keren sedang memakai Tag Heuer. 





“Behhhh, kita mesti beli ini, biar keren kaya Chris Hemsworth,” begitu kami berkali-kali mengucap tiap melihat gambarnya. Bahkan, kadang saya foto kalau bertemu gerai Tag Heuer dan mengirimnya ke kawan saya, “Kapan ini bakal kebeli?”.


Buat kami, kala itu, kalau kami sudah bisa beli jam tangan Tag Heuer tanpa nyicil dan tanpa mikirin tabungan, berarti kami sudah sukses secara karir. Berarti, separuh mimpi kami sudah tergapai. 


Jadi, kalaupun beli emang buat keren-kerenan aja. Buat self reward, kalo kata istilah anak zaman sekarang. Bukan kebutuhan fungsional. Soalnya percuma, pakai jam tangan juga kalo janjian datangnya tetap ngaret sampe 2 jam, hehe. 


Sekarang, kami sudah berganti profesi dan gaji kami sudah tentu bertambah dari delapan tahun lalu. Apalagi kawan saya, sudah pernah mencicipi kursi direksi.


Tapi, Tag Heuer masih berada di keranjang impian kami. Belum sempat dicheck out. 


Belum sempat, bukan belum bisa.


Bisa sih bisa aja kalau memang kami niat. Tapi, seiring waktu berjalan dan naiknya pendapatan, beban kami juga bertambah. 


Saya, kini menjadi tulang punggung keluarga. Teman saya, juga sudah menjadi ayah dan beranak dua. Kebutuhan kami makin banyak, hidup kami makin kompleks. 


Alih-alih membeli jam tangan, kalau ada uang kami gunakan untuk barang-barang yang fungsional seperti kendaraan, tempat tinggal, atau modal usaha. Ada prioritas-prioritas yang membuat kami mengalah dan menunda untuk bisa sekeren Chris Hemsworth. 


Ketimbang membeli jam tangan seharga Rp 30 juta sampai Rp 50 juta, self reward kami sementara nilainya dikecilkan dulu untuk membeli; sepatu, tas, mainan, dan lainnya yang jadi tren. Di mana kalau dikumpulkan nilainya bisa lebih dari harga jam tangan Tag Heuer, haha. 


Bicara soal self reward dengan membeli barang-barang bermerk, menurut saya sah-sah saja. Apalagi kalau penghasilan sudah mencukupi, asal jangan memaksakan ya. 


Tentunya kan saat penghasilan sudah jauh lebih baik, lingkungan dunia kerja dan orang-orang yang kita temui juga level-nya berbeda. Membeli barang branded, juga bisa bertujuan untuk memberi kesan yang baik pada pemangku kepentingan yang akan kita jumpai. Kesan baik ya, bukan pamer. 


Di sini konteksnya adalah memantaskan diri, sehingga barang mewah yang dikenakan memang sesuai dengan tempat dan orang yang akan kita jumpai.


Misalnya tadi, kawan saya menjabat sebagai direktur. Tidak mungkin dong dia bertemu  pemegang saham dengan gaya seperti sewaktu masih menjadi wartawan. Apalagi direktur merupakan representasi dari perusahaan, penampilannya adalah citra perusahaan.


Self reward dengan membeli barang-barang bermerk ini, bagi sebagian orang masih dinilai negatif. Sebabnya, karena mereka yang menilai melihat dari kacamata mereka sendiri, bukan dari kacamata orang tersebut. 


Padahal kalau dari kacamata orang tersebut, ya sah – sah saja dia membeli tas atau perhiasan, atau baju bermerk. Jabatannya sudah tinggi, ia sudah bekerja sangat keras, dan ia ingin memantaskan diri.


Tak jarang, orang yang menilai negative self reward ini adalah orang-orang terdekat kita. Bisa teman, keluarga, pacar, atau suami/istri. Kalo tetangga mah, diemin aja. Sebab tetangga adalah dekat di tembok, mulut tak digembok. 


Pernah, saya punya pacar yang terheran-heran saat saya membeli baju di Zara seharga ratusan ribu rupiah. Buat dia, itu berlebihan. “Aku tuh pakai baju dari matahari aja, kemeja aku paling mahal cuma Rp 150 ribu,” katanya. 


Saat itu, dia bekerja sebagai manager di sebuah perusahaan IT. Sementara saya, media relations di BUMN pertambangan. 


Sah-sah saja dia menilai seperti itu, tapi gak bisa sembarangan terapkan standarnya pada saya.


Buat saya yang sering bertemu pemangku kepentingan, dengan pendapatan yang cukup, nilai baju Zara itu tidak ada apa-apanya. Toh, ketika saya membeli pakaian itu saya sudah menunaikan segala kewajiban finansial saya. 


Saya kesal, dan menjawab. “Ya gak apa-apa dong, aku beli baju agak mahal karena kan aku tiap hari ketemu orang penting. Kamu pake kaos aja juga gak apa-apa, soalnya ketemunya cuma sama komputer sama abang kantin.”


Gak lama setelah itu, kami putus. Gak mungkin rasanya bersama dengan orang yang bahkan tidak tahu nilai dari pasangannya sendiri. 


Betul, buat saya membeli barang berharga untuk self reward itu artinya bicara soal value. Valuenya, bukan berada pada benda yang kita beli. Bukan pada tas yang seharga jutaan atau ratusan juta rupiah. 


Valuenya, ada di diri kita sendiri, yang memakainya. Bagaimana kita bekerja keras, mencari uang yang halal, skill yang semakin terasah, networking yang lebih luas, dan membuat kehidupan yang lebih baik bagi diri kita sendiri maupun bagi orang banyak. Sehingga akhirnya layak untuk membeli tas atau sepatu tersebut. 


Males banget kan dengerin orang ngomong. “Mending duitnya dipakai buat nabung, beli perhiasan, buat beli yang penting.”


Ya dikira itu semua gak kita lakukan, perkara baju Zara ratusan ribu aja jadi sewot. Padahal buat saya, itu gak seberapa. 





Ketika ada kawan atau orang di sekeliling kita sanggup untuk membeli barang berharga tertentu, kenapa sih mesti dinyinyirin dan di-ciye-in. Toh, selama itu duit mereka sendiri dan tidak ada hak-hak makhluk hidup lain yang terdzalimi, ya bukan urusan kalian. 


Beberapa hari lalu, saya ngobrol via whatsapp dengan beberapa kawan. 


Satunya ada yang bercerita, bahwa selama 10 tahun lebih bekerja belum pernah sekalipun beli tas bermerk. Tas bermerk di sini bukan level Gucci, Prada, atau Louis Vuitton ya. Tetapi di level Coach, Kate Spade, Tory Burch, Fossil dll.


Selama ini, sebagai self reward biasanya ia membeli makanan, tanaman, jalan-jalan dan pakaian sesekali. Kalau dilihat-lihat, itu pun dinikmati bersama-sama. Bukan yang khusus untuk dirinya sendiri.


Semula, dia ingin membeli tas bermerk di atas untuk hadiah ibu mertua atau ibunya. Tapi begitu lihat katalog, dia tergoda. 


Lalu saya bilang, kalau tabungan cukup, tidak menguras gaji, dan memang ingin untuk mempercantik tampilan, beli saja! “You earned it,” kata saya. Dia bilang, dia akan izin dengan suaminya terlebih. 


Please, untuk para suami yang membaca ini. Jika keuangan mencukupi dan apalagi itu diambil dari hasil kerja istri sendiri, izinkan istri kalian menghadiahi dirinya barang-barang untuk mempercantik diri. 


Saya tahu, banyak kawan saya yang mengalah dengan mengatakan, “Mending buat anak” “Mending buat ini, buat itu.” 


Girls, percaya deh, anak-anak bakal lebih bahagia kalau ibunya paham bagaimana membahagiakan dirinya terlebih dulu. Punya ibu dengan tingkat percaya diri tinggi dan tampilan super kece jauh lebih menyenangkan untuk mereka. 


Ada lagi, di sebuah grup whatsapp. Seorang kawan saya hanya iseng memposting gambar tas bermerk, “Duh cakep ya…”. 


Dengan latar belakang profesi dan pendapatannya, barang itu memang cocok dan pantas dibeli olehnya. Eh, tiba-tiba ada yang menyahut. “Duh sayang harga jutaan cuma buat tas, mending beli emas deh.”


Eh, Maemunah! Gak semua orang-orang ngoleksi emas kaya inang-inang di Monas yaaaa…


Kalau kalian Sukanya beli emas ya silakan kalau ada duit segitu mending beli emas, tapi jangan suruh yang lain menyamakan standar dengan kalian. 


Saya misalnya, tidak suka koleksi perhiasan emas. Saya lebih suka koleksi mainan, buku, dan merchandise Kpop. Untuk mainan dan buku, saya berniat akan mewariskan cerita-cerita ini ke anak-anak saya. Buat saya, itu lebih seru ketimbang memberikan anak saya nanti emas dan perhiasan lainnya. 


Ladies, balik lagi soal self reward dengan barang branded. Kalau kalian masih bimbang, coba pikirkan diri kalian dulu sekali-kali.


Kalau tidak sampai menguras tabungan atau gadai rumah, kalau semua kebutuhan pokok keluarga atau sendiri sudah terpenuhi, kalau semua kewajiban finansial sudah dituntaskan, dan jika barang ini bisa membuat kamu merasa lebih cantik dan kece, belilah!


Kalian sudah bekerja keras, jadi “You earned it!”


Buat para suami , jika istri kalian ingin membeli suatu barang untuk mempercantik dirinya tanpa menganggu atau mengguncang keuangan bersama. Izinkan!


Buat para pacar, diem aje diem! Kalian belum punya hak buat melarang-larang pasangan beli barang-barang tadi selama itu dibeli bukan pakai duit kalian.


Ingat ladies, you earned it! 



Kamis, 02 September 2021

Review Modern Love Season I : Kisah Cinta dengan Makna Romantis yang Berbeda

“Love is a lot of things.” 

Kata Emma, kepada Joshua. 


Sejenak, kita review serial dari negeri barat dan tinggalkan drama-drama Korea yang sedang hype banget ya….


Kali ini, gue akan membahas soal serial “Modern Love” – Season 1 yang sebenarnya sudah tayang di 2019 (kalau gak salah), tapi baru gue tonton sampai khatam sekitar bulan lalu. Dan, gue sama sekali tidak menyesal berlangganan Amazon demi menonton serial ini…


Season pertama yang mendapat nominasi Emmy Award ini terdiri dari 8 episode, masing-masing (konon) diangkat dari kisah cinta yang nyata dan terjadi di New York. 


Setiap episode terdapat bintang-bintang Hollywood yang wajahnya familiar. Seperti Dev Pathel, Anne Hatthaway, Tina Fey, dan lainnya. 


Dari 6 episode tersebut, gue suka semuanya. Sebab, setiap cerita menggambarkan kisah cinta yang berbeda. Cinta gak melulu soal sepasang kekasih wanita dan pria, cinta bisa berupa kisah lama yang begitu hangat, kisah orang asing yang kemudian menjadi seperti keluarga sendiri, tentang seorang gadis yang merindukan sosok ayahnya pada seorang pria, atau kisah tentang diri kita yang memaafkan dan menerima diri sendiri. 


“Love is a lot of things,” kata Emma kepada Joshua, yang gue cuplik dari episode 2 Modern Love yang bertajuk “When Cupid is a Prying Journalist”. 






Tentunya, dari 8 episode tersebut, kalau bisa gue pilih 3 terbaik-nya adalah 3 episode ini:

  • When the Doorman is Your Main Man
  • Take Me as I am Who Ever I am , dan 
  • Hers was a world of One 


Jika tidak keberatan (yaelah), izinkan gue untuk mengulas alasan di balik kenapa gue jatuh hati pada 3 episode tersebut. 


Episode pertama yang berjudul “When the Doorman is Your Main Man” sangat cocok sebagai episode pembuka, pencuri perhatian, yang membuat kita menanti episode-episode berikutnya. 


Seperti judulnya, Doorman is Your Main Man. Berkisah tentang penjaga apartemen bernama Guzmin, yang menjadi pembuka pintu untuk para penghuni apartemen sekaligus para penonton serial ini. 


Guzmin, dikenal oleh Maggie sebagai doorman yang kepo dengan urusan asmaranya. Maggie adalah perempuan single, cerdas, bertubuh mungil, dan hidup sendiri di kota yang begitu sibuk dan megah. 


Setiap Maggie berkencan dengan pria, Guzmin akan mengingatkan Maggie tentang si pria tersebut. Kayak; jangan sama yang ini, yang ini ga beres Mag, aduhh yang begini lagi. Tapi Guzmin menyampaikannya dengan gaya yang cool dan selow, gak kaya emak emak yang suka komen di IG selebriti.


Anehnya, penilaian Guzmin tentang pria yang dikencani Maggie selalu benar. Akhirnya, Guzmin dan Maggie berteman, meskipun sedikit janggal. 


Pertemanan ini semakin kuat ketika Maggie diketahui hamil dari salah seorang teman kencan pria-nya. Maggie dan pria itu sama-sama tidak mau menikah, tapi memutuskan untuk melahirkan dan membesarkan sang anak. 


Di masa-masa inilah pertemanan Maggie dan Guzmin semakin erat, hingga akhirnya Maggie melahirkan seorang putri dan putri-nya ini sering dititipkan kepada Guzmin, saat Maggie sibuk bekerja. 


Tanpa sadar, ikatan pertemanan mereka lebih kuat. Bagi Maggie dan putrinya, Guzmin adalah keluarga. Seperti Ayah untuk Maggie, dan kakek untuk putrinya. 



Hingga suatu saat Maggie harus pindah karena pekerjaan dan membawa serta putrinya. 


Sekitar beberapa tahun tak berjumpa, Maggie akhirnya membuka diri untuk berkencan lagi. Kali ini untuk jenjang lebih serius. Tapi, seperti biasa, sang pria harus melewati “Tes Guzmin”. 


Diboyong jauh-jauh ke apartemen lamanya di New York, Maggie dan Guzmin reuni kembali. Saat Maggie mengenalkan calonnya ke Guzmin, kali ini Guzmin merestui dan mendoakan mereka bahagia. 


Ada sebuah pertanyaan yang membuat Maggie penasaran dari dulu, kenapa Guzmin bisa tahu mana lelaki yang tepat dan tidak tepat untuknya. “Bagaimana cara kamu menilai mereka, apa yang kau lihat dari mereka,” tanya Maggie. 


Guzmin menjawab dengan tenang. “Saya tidak pernah melihat mereka, Maggie. Yang saya lihat adalah bagaimana matamu memandang mereka.” 


EAAAAAAAAA! THAT’S SO SO SO SO SO SWEEEEET!


Selasa, 08 Desember 2020

3 Alasan Jadi Tim Nam Do San di Drama Korea Start Up

Pic Credit Soompi



Ketimbang #TimHanJiPyeong atau #TimNamDoSan, gue sebenarnya lebih ke #TimNontonMaratonNungguEpisodeKelar. 


Yak, meski orang-orang dan netizen di sosial media manapun udah ribut soal drama ini, gue tetep kalem. Gue nunggu sampai episode 14, dan langsung marathon 3 hari berturut-turut. Sungguh efisien dan buang-buang umur sekaligus. 


Tapi, lebih baik gue 3 hari marathon nonton drama Start Up dibanding 3 tahun gak ngapa-ngapain kaya Han Ji Pyeong… HAHAHA!


Baik, mari kita mulai. Oh iya, perlu dicatat tulisan ini akan penuh spoiler dan puja puji terhadap Nam Do San (YA BACA AJA JUDULNYA GUE TIM SIAPA!!!).



pic credit to Soompi 



Inilah 5 alasan kenapa gue (dan kalian mestinya) jadi #timNamDoSan di drama Start Up: 



1. Jangan Ngadi-Ngadi Pilih Second Lead


Fotonya aja udah disandingin berdua



Jangan nyari gara-gara dah loe semua, udah jelas Lead Actornya Nam Joo Hyuk yang jadi Nam Do San. Pasti si penulis atau sutradaranya bakal jadiin dia sama Lead Actress-nya yakni Suzy yang jadi Seo Dal Mi. 


Udah jelas-jelas Han Ji Pyeong yang diperankan oleh Kim Seun Ho adalah second lead, jatuh hati padanya berarti siap-siap ambyar begitu nonton drama ini. 


Untungnya gue penonton yang punya jam terbang dan tak mau lagi terjebak tipu daya sosok second lead yang selalu; lebih manis, lebih enak dipandang, lebih baik, dan lebih sial dalam hal percintaan …


Ini penulisnya sama dengan yang nulis Dream High dan While You Were Sleeping… anjay second leadnya di drama itu gak nanggung-nanggung: Taec Yeon 2 PM dan Jung Hae In


Gue pampang nih foto-fotonya



Betapa pria manis ini disia-siakan Suzy di While You Were Sleeping



Gak ngerti kenapa Suzy mencampakkan Taec Yeon



Waktu nonton drama Dream High… gue itu tim Taec Yeon banget!!! Dibuai oleh penulis, pake segala Suzy mayungin motornya Taec pas hujan salju…


Ujung-ujungnya jadi ama Kim Soo Hyun… kan bengak!

Ambyar gue. 


Pengalaman lebih menyakitkan lagi adalah ketika gue nonton Reply 1988, gue itu tim Jung Hwan bangetttttttttt!!! Sampe sekarang gue setop nonton Reply 1988 di episode 18, kaga mao namatin. Bodo Amat!


Patah hati ini mereka gak jadi di Reply 1988



Pengalaman traumatis membela para pria second lead gue sadari berujung tidak baik pada suasana hati, uring-uringan, dan rasa menyesal. Kaya salah nyoblos waktu pemilu gitu...


Padahal aktornya mah emang dibayar mahal buat bikin hati kita patah sejadi-jadinya. Blengcek!


Jadi, jangan tertipu lagi kawan-kawan. Mari kita jaga hati dan kebatinan kita di masa pandemi ini dengan memastikan dan membuka wawasan siapa Lead Actor dalam Korea Drama yang akan kita tonton. 


Jangan beri celah buat second lead satu centi pun di hati kamu, Jangan!!!!

Luruskan niat bahwa menonton drama Korea adalah untuk kepuasan mata dan batin kita. Mari biasakan jatuh hati pada Lead Actor. 


Ingat kata pepatah; 

Berakit-rakit ke hulu berenang-renang kemudian, kepincut second lead bisa menipu dan berujung sedih kemudian


2. Han Ji Pyeong adalah Abang Material Kita Semua


Pikirkan ini dari sisi yang lebih menguntungkan kita semua, Han Ji Pyeong adalah abang sayang virtual kita semua. Biarkan saja Nam Do San dengan Seo Dal Mi, asal Han Ji Pyeong belom ada yang punya. 





Dengan tetap melajangnya Han Ji Pyeong, artinya peluang kita untuk jadi kekasih Han Ji Pyeong….. tetap kecil dan nihil. GAK ADA! Jangan pada ngadi-ngadi lu!


Han Ji Pyeong adalah fiksi yang terlalu sempurna. Pengalaman gue selama satu dekade jadi wartawan ekonomi dan perempuan dewasa (ehem) berkepala 3… tidak akan ada laki-laki yang berstatus senior manager dengan uang miliaran rupiah yang tidak blengcek…. Wkwkwkwkkw.


Masa iya Han Ji Pyeong kerjaannya kerja kerja kerja (tipes) terus, pasti dia juga tinderan sebelom ketemu Seo Dal Mi 15 taon kemudian. Haqqul yakin gue. 


Tapi sosok Han Ji Pyeong ini, ketimbang boyfriend material, memang lebih enak jadi abang material. Cakep, tajir, mengayomi, perhatian, dan masih prima di usia 30-an. Duh….. klo ini abang nyaleg, pasti gue coblos pas Pilkada!


Masa iya senior manager yang biasa dapat cuan berkali lipat dari investasi kaga bisa gerak cepat buat akuisisi hati seorang Seo Dal Mi. 


Han Ji Pyeong adalah cinta pertama Seo Dal Mi. Inget prinsip utama dalam hidup ini, first love never last (apaan sih).


Han Ji Pyeong bahkan gak sadar ia jatuh hati sama Seo Dal Mi meski sudah berbalas surat. Lalu pergi dalam 15 tahun begitu saja tanpa mencari Seo Dal Mi. 


Nam Do San, baru baca surat-suratnya Dalmi sekali langsung nguber dan ngudak-ngudak Seo Dal Mi. Nam Do San dari awal jujur sama perasaannya dan konkrit. 


Buat gue, Han Ji Pyeong adalah mimpi Seo Dal Mi soal cinta. Sementara Nam Do San mewujudkan mimpi Seo Dal Mi dengan cinta…


Ciyehhhh…

Pokoknya aku tim Nam Do San!


3. Nam Joo Hyuk 


Alasan paling mutlak adalah karena Nam Do San diperankan oleh Nam Joo Hyuk… udah. Finale. 


Okay Kim Seun Ho manis dan segala lesung pipitnya, tapi akuh adalah penggemar Nam Joo Hyuk sejak dia belum jadi siapa-siapa…


Ya Alloh.. gak usah pakai kata-kata deh. Langsung aja gue kasih foto-foto Nam Joo Hyuk…









Terakhir gue kasih tebakan:

Kenapa penulis drama ini jodohin Seo Dal Mi sama Nam Do San?

Karena gak mungkin Seo Dal Mi dijodohin sama Nam Bo Ru-nya

(APAAN SIH, NGAPA JADI BATAK!)



Okay, Bye!




Jumat, 16 Oktober 2020

Review Buku: Almond, Cerita Remaja Tak Punya Emosi





Pernah gak sih kalian bertanya-tanya kenapa Tuhan memberikan kita suatu kondisi atau ujian tertentu? Lalu, jawabannya baru kalian dapat bertahun-tahun kemudian. 


Itu kira-kira pesan yang gue tangkap saat membaca buku Almond, karya penulis Korea Selatan Sohn Won Pyung. 


Berkisah soal Yunjae, anak lelaki yang terlahir dengan kondisi alexythimia yang menyebabkan dia tidak memiliki emosi. Artinya, Yunjae tidak tahu apa itu perasaan sedih, gembira, marah, dan emosi lainnya. Datar dan lempeng aja gitu hidupnya. 


Kondisi ini disebabkan karena amygdala-nya (cmiiw) yang berbentuk seperti almond di kepalanya underdeveloped. 


Yunjae tinggal bersama ibu dan neneknya. Ibunya kerap memaksa Yunjae sering memakan almond, yang Yunjae pikir mungkin bisa membantu “almond” di kepalanya lebih membesar. Mungkin itu alasan kenapa buku ini diberi judul “Almond”. 


Penulis menuturkan betapa Yunjae kesulitan membaca dan merasakan emosi dengan sangat apik. Kekhawatiran sang ibu ditekankan betul, Yunjae ‘dipaksa’ menghafal beberapa kata penting agar terhindar dari masalah atau bahkan demi tak dirundung anak lain. 


Yunjae dan keluarganya tinggal di sebuah toko buku milik sang nenek, di atasnya terdapat toko roti yang dimiliki oleh seorang kakek. Di sekolah dan di lingkungannya, Yunjae dikenal sebagai ‘monster’ karena tidak memiliki emosi. 


Meski begitu, rasa sayang nenek dan ibunya tak pernah habis untuk Yunjae. 


Suatu waktu, keluarga kecil ini pergi merayakan ulang tahun Yunjae di sebuah restoran. Lalu sebuah tragedi terjadi, seorang perampok mengamuk di jalanan dan berujung dengan tewasnya sang nenek dan ibu Yunjae terluka berat hingga kondisi koma. 


Sang nenek tewas karena ingin melindungi Yunjae, begitu juga ibunya yang kondisinya lebih seperti orang mati ketimbang hidup. 


Di usia belasan tahun, menyaksikan nenek dan ibunya dibantai di depan mata. Lalu ditinggalkan oleh keduanya, yang merupakan satu-satunya keluarga yang ia miliki.. bisa kebayang bagaimana hancurnya Yunjae kalau ia bisa merasakan emosi?


Gue seakan tertampar saat membacanya. Kalo gue jadi Yunjae sih pasti udah gak sanggup dengan segala kondisi itu, jadi gue berpikir mungkin Tuhan memberikan kondisi istimewa itu ke Yunjae karena sudah tahu akan apa yang terjadi di masa depan. 


(Ya bukan Tuhan juga sih, tapi penulisnya).

Cerita lalu mengalir, Yunjae bertemu dengan karakter-karakter baru yang membuatnya berpikir lebih keras untuk berempati.


Salah satunya Gon, anak liar yang sangat kebalikan dengan Yunjae. Jika Yunjae lembut di luar namun keras di dalam karena tak ada emosi, Gon justru tampak keras di luar namun super perasa di dalam karena pengalaman traumatis masa kecilnya. 


Secara keseluruhan, buku ini khas banget buku-buku penulis Korea Selatan yang menggali lebih dalam makna hubungan antar manusia. Kata-kata yang dipilih tidak sulit atau jarang menggunakan ungkapan, tapi bisa membuat kita berpikir cukup dalam karena kita diajak menyelami isi kepala Yunjae. 


Kita diajak merasakan menjadi Yunjae yang tidak punya emosi. Sebuah kondisi yang jujur membuat gue iri saat ini. Gue sampai berpikir, kondisi ini semacam berkat bagi Sebagian orang yang justru overburden akibat emosi-emosi yang menumpuk di dirinya. (Sedikit curcol). 


Jujur aja gue baca buku ini karena ini buku yang dibaca oleh Suga BTS….. receh banget kan alasan gue. Haha!





Apapun yang Namjoon, Suga, V baca..harus gue baca! 


Buku ini udah ada terjemahan Bahasa Indonesia dan bisa dipesan onlen di situs buku terbesar itu lohhhh…..


Sedikit tambahan dalam review mungkin, entah kenapa belakangan ini Korea lagi hobi mengangkat isu alexythimia ini. Entah kebetulan atau tidak, selain buku Almond…ada juga drama-drama yang mengangkat isu ini. Salah satunya adalah Flower of Evil yang dibintangi oleh actor Lee Jun Ki dan Alice yang dibintangi oleh aktor Jo Woon. 


Kedua drama yang gue sebut di atas itu juga bagus sih, terutama Flower of Evil. 


Ada kesamaan dari buku dan drama-drama ini, meskipun kepala tidak bisa menangkap sinyal untuk membaca emosi..perlu dicatat para karakter ini masih memiliki hati. Jadi mereka bertindak tanpa sadar oleh hati mereka, tanpa tahu itu emosi apa. 


Selamat membaca!