Okeh
Setelah bahas dari sisi pertanian
Sekarang kita coba lihat dan tanggapi
statement-statement para kandidat capres dan cawapres dari sektor energy dan
pertambangan.
Seperti biasa, perlu diingatkan bahwa tanggapan ini
hasil analisa saya dan kawan-kawan yang ngepos di energy, jadi dari berbagai
media yaaa..tapi emang ga ada wartawan PKS Piyungan atau VOA Islam sih di pos energi,
gak tahu di pos lain ada wartawannya atau gak…eh tapi itu produk jurnalistik
bukan sih ? Ya udah lah ya.
Dalam tulisan ini kita bakal jabarin apa yang
terjadi sebenarnya, mana yang teori mana yang asal jeplak aja dari debat
semalam. Pertama-tama, okelah kita lupakan sejenak soal mafia-mafia migas yang
masih meliar itu. Anggap aja kedua kubu ada mafianya…dan kita tahu persis siapa
aja mereka dan paling banyak serta biangnya berada di kubu mana, yang akhirnya
bikin kita stand on the right side. Gitu.
Mari masuk ke masalah, soal Kedaulatan Energi . Begini
rangkumannya :
Hatta
:
·
Upaya renegosiasi untuk kemakmuran
rakyat baik tambang migas maupun mineral
·
Upaya untuk meningkatkan cadangan dengan
eksplorasi
·
Kembangkan sumur-sumur yang tua dengan
EOR
·
Diversifikasi dengan naikkan porsi energi
baru dan terbarukan dengan feed in tariff, pemberian insentif , dan lainnya.
·
Penghematan energi harus konsisten
·
Dalam tingkatkan eksplorasi, BUMN harus
diberi porsi lebih
Jokowi
:
·
Energi yang kita miliki sangat melimpah,
utamanya gas bumi. Paling utama konversi BBM ke gas dulu.
·
Pembangunan infrastruktur gas mesti fokus,
pipa menuju industri dan rumah
·
Penyelarasan dengan penyediaan
transportasi publik yang baik untuk kurangi kemacetan dan konsumsi bahan bakar
·
Pengembangan energi baru terbarukan dari
tanaman-tanaman seperti cantel
·
Biofuel, insentif jangan hanya untuk BBM
tapi juga biofuel
JK
: (bertanya pada Hatta)
Mengapa produksi minyak
jeblok sampai dengan 800 ribu barel per hari ? Subsidi makin bengkak, apa yang
terjadi ?
Hatta
:
·
Declining produksi sudah terjadi sejak
jaman kita (ciyeeeee), waktu itu 900 ribu barel per hari
·
Sumur2 migas dulu declining rate 12
persen, sekarang turun 3 persen. 2015 awal bakal naik jadi 1 juta barel
·
Proyek 10 ribu MW itu terburu-terburu,
tapi listrik kita membaik saat ini sudah mencapai 54 ribu MW
·
Harus diversifikasi energi, insentif
ebtke mesti diberikan
Hatta
:
Renegosiasi dan Renegosiasi Gas Tangguh ke Fujiyan (FYI Gas Tangguh banyak
yeee)
Hatta
:
(bertanya pada JK), Renegosiasi kontrak yang lalu-lalu banyak merugikan setuju
tidak untuk investigasi ?
JK
:
Silahkan saja diusut
Jokowi
:
Justru perlu diusut, kita tahulah siapa yang bermain di tambang dan kelompok
kepentingan di situ. Kalau kelompok itu masih ada dan mengatur, ya sampai
kapanpun masih begitu. Koalisi kami tanpa syarat dan tidak terganggu kontrak
apapun.
Prabowo
: Terima Kasih Pak SBY, Renegosiasi Tangguh berhasil per 1 Juli jadi US$ 12
dolar
Hatta
: Yang penting itu kelompok kepentingan harus
terbuka dan jelas akuntabilitasnya (??)
JK
: Soal Newmont sudah kami putuskan waktu itu diambil BUMN, tapi justru jadinya
ke daerah dan swasta yang gak jelas. Tidak ada yang spesisial dari Tangguh,
memang bunyi kontraknya begitu setiap 4 tahun di renegosiasi. Saya 2008 juga ke
Cina ketemu Wu Jin Tao untuk renegosiasi. Jadi wajar.
Oke itu rangkuman isinya , mari kita bedah satu-satu…
Pertama-tama saya kecewa ama kedua kandidat karena komitmen mereka yang tinggi terhadap
energi tidak disertai dengan pernyataan untuk kembali menaikkan harga BBM di
periode mereka nantinya. Padahal, bisa dipastikan kebijakan ini sulit untuk
dihindari di periode mereka nantinya.
Cara paling mudah mengetahui mereka memiliki
komitmen terhadap sektor energi adalah dengan menaikkan harga, semakin mahal
maka beban subsidi yang ditanggung negara akan turun, sekarang aja untuk energi
subsidinya mencapai kisaran Rp 246 triliun untuk dibakar oleh mobil-mobil yang
bikin macet jalanan.
Dengan fluktuasi harga minyak, pertumbuhan kendaraan
bermotor yang tinggi, konsumsinya akan terus melonjak. Emang sih kewajiban
negara buat memberi subsidi warganya, tapi ketimbang ratusan triliun dibakar
begitu aja lebih baek (ala JK) itu untuk kesehatan, pendidikan, subsidi pangan,
dan bangun infrastruktur. Angka segitu, kita bisa bangun infrastruktur untuk
menyambung Pulau Jawa dan Sumatra dan meningkatkan aktivitas serta memperluas
pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Lagian ya, diversifikasi energi seperti yang
diumbar-umbar para kandidat gak akan bisa jalan selama energy fosil masih
diberi harga yang murah.
FYI, saya dan kawan-kawan termasuk orang yang
#bikinrame dan ngomporin pemerintah supaya naikkin harga BBM sejak dua tahun
lalu karena waktu itu harga minyak lagi tinggi-tingginya. Udah subsidi bengkak,
konsumsi makin tinggi…eh duitnya malah dinikmatin oleh mafia migas. Mending
naikkin harga dan sisa duit APBN masuk ke negara. Nah, kebijakan ini…kerap kali
mentok di Menko (siapa ya?), padahal dari ESDM, Pertamina dll udah
teriak-teriak dari dulu.
Jadi ingat, diversifikasi akan percuma….selama
Bapak-Bapak masih beri bahan bakar fosil harga murah!
Kedua
: Masalah Renegosiasi Tambang dan Migas
Hadooooooooh, panjang ini masalah. Gimana mulainya
ya, ehm… Dear Bapak Hatta, sebagai ketua Tim Renegosiasi apakah saat bapak
meninggalkan posisi Menko sudah ada kontrak renegosiasi yang diteken ? Yup,
jawabnya belum.
Iya, tapi bukan artinya bapak gak kerja, sampe empat
tahun loh tim bolak-balik melobi kontraktor tapi kesannya gak gol-gol padahal
berkasnya udah di meja Bapak..gimana ya Pak ?
Saya nulis ini sampe 3 kali ganti dirjen, 2 kali
ganti menteri, dan ketemu beberapa CEO kontraktornya langsung mulai dari tambang-tambang
kecil sampe tambang besar seperti Vale, Newmont sampai dengan Freeport.
Renegosiasi tambang itu amanat undang-undang, ada 6
poin yang ditekankan ; divestasi, jangka waktu, royalti, tingkat komponen dalam
negeri, luas wilayah, serta kewajiban pengolahan dan pemurnian (smelter).
Tepat sekali ketika Pak Hatta bilang lebih suka kata
renegosiasi ketimbang perpanjangan kontrak, soalnya renegosiasi hanya berlaku
sampai jangka waktu kontrak yang sebelumnya disepakati berakhir.( Berarti
kontrak-kontrak tahun 90an yang waktu itu diteken oleh Mertuanya Bapak Prabowo,
jadi kalau mau diusut kenapa bisa teken kontrak begitu jaman dulu..usut!).
Nah, rata-rata kontrak yang diteken itu akan
berakhir di periode 2020an, setelah itu kontrak-kontrak karya itu akan berganti
menjadi IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus). Dengan status baru itu, pemerintah
tidak lagi sejajar dengan Freeport CS..tapi jadi di atasnya.
Bicara renegosiasi, salah satu poinnya adalah masalah divestasi . Buat kontraktor-kontraktor itu sebenarnya bukan perkara berat. Vale,
Freeport, dan Newmont sudah sepakat untuk divestasi dengan porsi sesuai peraturan.
Masalahnya justru di pemerintahnya sendiri, nanti divestasinya untuk apa dan
siapa ?
Freeport misalnya , saat ini sebanyak 90,64 persen saham PT
Freeport Indonesia dimiliki oleh Freeport McMoran Copper & Golden
Inc. Sedangkan sisanya sebesar 9,36 persen dimiliki oleh pemerintah
Indonesia sejak 1967.
Dalam kontrak perpanjangan 1991,
Freeport wajib divestasi saham sebesar 9,36 persen dalam 10 tahun pertama sejak
1991. Dan tahap kedua sejak 2001 harusnya Freeport lepas saham sebesar 2 persen
setiap tahun hingga 51 persen ke pemerintah.
Divestasi tahap pertama dibeli oleh
PT Indocopper, anak usaha Bakrie. Terus , ya namanya juga Bakrie, ini saham
dijual lagi dan akhirnya sampe ke tangan Freeport lagi. Haish!
Divestasi tahap dua urung dilaksanakan gara-gara ada PP 20
Tahun 1994 dari Mertua Pak Prabowo yang membolehkan
perusahaan asing punya saham 100 persen! See…jadi kalo mao
diusut kontrak-kontrak yang merugikan negara..usut!! Tapi hati-hati gagal rujuk
nanti Pak Prabowo ama Bu Titik.
Divestasi Newmont ? Aduh sisa 7 persen aja belom
tereksekusi sampe sekarang. 24 persen dimiliki oleh Bakrie dan konco-konconya,
terus 7 persen ini dengan kedok daerah nantinya bakal lari ke dia juga.
Pengalaman di Freeport ga cukup ? Harusnya pemerintah aja yang ambil. Saya
ingat bener Pak Agus Marto berjuang sendirian supaya bisa diambil pemerintah,
tapi Pak Hatta sebagai Menko justru minta dikasih ke daerah. Hiks L
-> USUT!!
Migas, Tangguh ? Seperti kata Pak JK, nothing
special…hehehe memang sudah seharusnya di renegosiasi. Kalau waktu itu ga ada
Fujiyan yang beli, LNG kita ga ada yang pakai..infrastruktur dalam negeri belum
siap. Makanya diantisipasi dalam kontrak tiap 4 tahun sekali direnegosiasi,
harganya sekarang baru jadi US$ 8 per MMBTU kok….masih tetep di bawah harga
pasar.
Lalu soal kontrak tangguh, jangan lupa kontrak ama
BP train 1, train 2 dan train 3. Itu gelar Pak SBY dari Kerajaan Inggris gimana
? Skema kontraknya akhirnya oleh KPK minta diubah, kok gak disinggung yaaa~~
Masalah berikutnya :
Janji 1 Juta Barel Minyak per
hari di 2015, tingkatkan cadangan eksplorasi dan EOR!
Dear Pak Hatta, nonsense!!!!
Itu semua sudah dilakukan dan hasilnya nihil, mau
diulang Pak janji manisnya bertahun-tahun lalu ? Maaf, kalo bapak yang mimpin bisa-bisa rencana saya
nikah ketunda lagi.
Dalam hal ini Bapak pasti berharap penuh sama Blok
Cepu ya yang potensinya bisa mencapai 165 ribu per hari…errrrrrr itu masih
tahap EPC sekian-sekian dan perizinan masalahnya ada di Bapak…huhuhu. Lagian
Pak, logikanya sekarang aja produksi 800 ribu kurang, dan pasti ada decline
rate (okelah 3 persen seperti klaim Bapak), terus tambah Cepu..belom sejuta
juga kali Pak.
Bapak sebagai Menko pasti tahu, untuk urus migas ini
perizinannya sampe 286 biji! Ini sebenarnya Bapak bisa benahin dan pangkas
birokrasinya waktu jadi Menko. Tapi bapak, as usual, do nothing.
Soal menggenjot produksi minyak mau gak mau harus
ada eksplorasi baru, kita belum ada sudah bertahun-tahun. EOR dan decline rate
turun? Sebentar Pak, ada masukan teknis dari temen saya :
Yang namanya meningkatkan cadangan dengan
eksplorasi supaya ke depannya produksi naik itu emang secara teori begitu sih.
Cuma masalahnya, tiap kementerian sektor ekonomi aja ga kompak buat itu. Udah
tau eksplorasi sulit, tiba-tiba jeder keluar Peraturan Pemerintah Nomor
79 Tahun 2010 mengenai PBB yang menyatakan perusahaan-perusahaan migas
harus membayar PBB dengan memperhitungkan seluruh luas wilyah kerja lepas
pantai walaupun belum dimanfaatkan seluruhnya.
Gegara itu, Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) akhir Juni 2013 kemarin mengeluarkan
tagihan PBB untuk 2012-2013 mencapai total sebesar Rp 2,6 triliun
kepada 15 perusahaan hulu migas yang mengoperasikan 20
blok eksplorasi lepas pantai. Besaran PBB setiap blok
berkisar Rp 40 miliar hingga Rp 190 miliar. Jumlah ini melebihi anggaran untuk
kegiatan ekplorasi di Blok itu sendiri.
Setelah diprotes,
Ditjen Pajak menerbitkan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-45/PJ/2013 berlaku sejak 1 Januari 2014 yang
menyebutkan PBB hanya dikenakan pada wilayah migas yang digarap saja. Ini pun,
ternyata masih bermasalah, soalnya perusahaan minyak masih dikenai pajak badan
bumi lagi. Cadangan migas aja belum ketemu, udah kena pajak bejibun, ya maklum aja pada males eksplorasi.
Anggaran eksplorasi aja Cuma 10-14% dari total investasi. Sinergi antara
kementerian dan instansi ekonomi ini iki piye Pak ? Kan Bapak Menkonya…..waktu
itu
Trus
cita-cita produksi 1 juta barel per hari, menurut Inpres 2/2012 ini harusnya
terjadi pada 2014 ini. Dalam instruksinya, Presiden memberikan tugas kepada 11
menterinya untuk mendukung pencapaian target. Instruksi juga diberikan kepada
Badan Pertanahan Nasional (BPN), BP Migas, gubernur dan bupati/walikota.
Kementerian dan instansi diperintah untuk melakukan berbagai upaya dan
berkoordinasi sehingga produksi minyak nasional bisa mencapai 1 juta bph pada
2014. Jadi semua pejabat yg tertulis (termasuk Menko) harusnya disebut tidak
menjalankan instruksi presiden dong yaa. Habis belom tercapi juga.
Masalah EOR :
EOR itu biarpun berhasil
dilaksanakan (katakanlah dengan sedikit keajaiban) dalam waktu satu dua tahun.
Tidak akan bisa berkontribusi secara signifikan pada peningkatan produksi
nasional. Bicara
soal decline rate, Pak Hatta mengklaim katanya pemerintahan SBY berhasil
mengerem dari 12 persen menjadi 3 persen, lah kenapa banyak negara bisa sukses
meningkatkan produksi meskipun juga mengalami decline rate? Brazil misalkan,
sebentar lagi akan menjadi eksportir minyak lagi karena penemuan yg sangat
signifikan beberapa tahun lalu. Kenapa di Indonesia tidak bisa? Apa alasannya
bener-bener karena kita tidak punya cadangan lagi atau karena kurang giat
mencari?
Persoalan
utama dalam hal ini adalah bobroknya iklim investasi, terutama pada fase
eksplorasi. Bukannya dikasih insentif tapi malah belum nemu tapi sudah kena
pajak ini itu. Belum lagi harus bagi-bagi ke pemda. Padahal resiko saat
eksplorasi tidak ditanggung negara lho. Ini yang harus disoroti. Pasangan mana
yang kira-kira lebih riil gagasannya untuk membuat iklim investasi jadi lebih
sejalan dengan nafsu meningkatkan produksi.
Saya
mau tambah data aja untuk membuktikan klaim decline rate dan pernyataan Pak
Hatta yang bilang produksi minyak turunnya justru lebih tinggi jaman Pak JK.
Realisasi
lifting 2004 : 1,040 juta barel per hari, 2009 : 949 ribu barel, 2014 818 ribu
per barel.
Jadi
turunnya di mana ?
Intermezzo
; itu 1 juta barel 2004 pas saya lulus SMA. Mestinya begitu kelar sekolah
langsung kawin aja…aish.
Proyek Diversifikasi
Listrik ke EBTKE :
Dear Pak Hatta, insentif
yang bapak sebut-sebut itu…untuk pengembangan panas bumi, mentok di meja bapak
hampir setahun lalu. Sekian. (Kalau
bapak teken itu mungkin saya percaya janji bapak).
Tapi sejujurnya, kita jangan berharap
tiba-tiba listrik di Indonesia semuanya dari EBT. Tidak mungkin menggantikan 54
ribu MW (kata Pak Hatta) dengan EBT semua. Panas bumi aja potensinya Cuma 29
ribu MW, itu yang bisa dikembangkan aja 10 ribu MW (sisanya ada di hutan
lindung, ga bisa lah dibor, nanti didor pecinta lingkungan).
Di atas kertas sih yah, potensi EBT indah
banget. Selain panas bumi, tenaga air 75.670 mw, mini/mikro hidro 769,69 mw,
biomass 49.810 mw, surya 4,8 kWh/m2/hari, angin 3-6 m/s, uranium 3.000 mw/t.
Yang udah dimanfaatkan, panas bumi 1.189 mw, air 5.705,29 mw, mini/mikro hidro
217,89 mw, biomass 1.618,4 mw, surya 13,5 mwp, angin 1,87 mw, uranium 30 mwt.
Buat ngembangin itu butuh harga yang bagus. Bapak harusnya udah tahu sih soal
ini…tapi yo nopo meneng waeee Pak ?
Konversi BBM ke Gas :
Jujur,
ini program yang paling masuk akal untuk saat ini kalau mau selamatin energi
kita….Gak usah banyak omong kayanya, kalau dulu Pak JK sebagai Wapres gak
ngotot minyak tanah diganti elpiji, mungkin subsidi kita saat ini lebih parah
dan gas ga bisa optimal di dalam negeri.
Usul
Pak Jokowi harus diakui lebih unggul dengan membangun infrastruktur gas agar
gas bisa dimanfaatkan sebanyak-banyaknya.
Selama
ini pembangunan infrastruktur gas selalu berbelit di masalah izin, supply dan
pasar. Apalagi sekarang ada dua perusahaan pelat merah yang berkompetisi, yaitu
PGN dan Pertagas, yang susah banget diatur.
Tapi
saya belajar dari pembangunan pipa di DKI Jakarta dan Pak Jokowi yang ternyata
bisa mendamaikan kedua perusahaan gas itu supaya nurut dan bangun
bareng-bareng, semoga Pak Jokowi bisa bawa itu ke tingkat nasional nantinya.
Amin.
Benar
kata Pak Jokowi, pasokan gas kita sangat berlimpah ketimbang minyak. Jadi
memang sudah seharusnya mengejar pembangunan infrastruktur gas dan menyiapkan
pasarnya agar ketergantungan terhadap minyak bisa berkurang.
Sembari
menunggu infrastruktur gas, memang sangat tepat konsep penyediaan transportasi public
yang lebih layak agar masyarakat beralih ke kendaraan umum dan hemat bahan
bakar.
Usulan kebijakan Pak
Jokowi ini memang tidak istimewa dan wah, tapi memang kebijakan sederhana
seperti ini yang kita butuhkan sebagai tahap awal memperbaiki energi di dalam
negeri. Simple.
Bukan janji-janji luar
biasa yang semestinya bisa ditangani sewaktu punya kuasa tapi malah dijadikan
bahan dagangan untuk dapat kekuasaan yang lebih tinggi. Huff.